Gunung Sumbing (3371 mdpl) adalah gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah sesudah gunung Slamet (3432 mdpl). Terletak di daerah Wonosobo dan berhadapan dengan gunung Sindoro, gunung Sumbing memiliki pesona yang cukup kuat untuk menarik saya dan 3 orang kawan menjelajahinya.
Hari ini adalah hari keberangkatan kami ke gunung Sumbing, perjalanan yang hanya direncanakan sehari sebelumnya melalui sms. Seperti biasa, kami berkumpul di Sorwaru, sekretariat Mapala STTL untuk koordinasi singkat sekaligus packing. Jam 11 siang saya ke kampus, bergabung dengan 3 orang rekan saya yaitu Rudi, Lukman, dan Febi yang termuda diantara kami. Satu-satunya yang masih berumur dibawah 20. Setelah selesai packing dan makan siang, kami berangkat menggunakan 2 motor. Saat itu tepat pukul 4 sore dan di Jogja cuaca lumayan cerah, pertanda baik untuk melakukan pendakian.
Kami berhenti di Magelang untuk istirahat sekaligus membeli tembakau lintingan. Maklum, budget terbatas. Bahkan logistik kami pun mengalami perubahan drastis dari perencanaan, chicken nugget diganti telur, corned beef diganti ikan asin, dan sosis diganti dengan sawi.
Kami melanjutkan perjalanan setelah melengkapi perbekalan, dan sekitar 2 jam kemudian kami memasuki daerah Temanggung. Di sini kami diguyur hujan lebat dan kabut tebal, mengharuskan kami berjalan menggunakan gigi 2 sambil memicingkan mata agar tidak kemasukan air. Jarak pandang saat itu hanya 5 meter. Setelah berjuang melawan dingin dan hujan, akhirnya kami tiba di dusun Garung, entry point gunung Sumbing.
Kami langsung menuju Basecamp pendakian untuk melapor dan menitipkan motor. Setelah menyelesaikan masalah administrasi, kami menerobos dinginnya malam menuju hutan gunung Sumbing dan tiba di persimpangan pertama pada jalur pendakian.
Dengan mantap, Lukman, yang saat itu menjadi guide kami karena sudah 2 kali mendaki Sumbing, berjalan di depan membawa kami ke jalur kanan yang menuju ke ladang penduduk dan bukan jalur pendakian. Kami belum sadar kalo kami salah. Kami terus melangkah memasuki hutan gunung Sumbing…
Waktu menunjukkan pukul 10 malam, tapi belum ada tanda-tanda kami mendekati sungai yang seharusnya berada di sebelah kanan jalur pendakian. Di kejauhan kami melihat kelip lampu senter beberapa pendaki lain, kira-kira 2 punggungan sebelah kiri kami.
“Ooh, itu lewat jalur baru…” kata Lukman.
Kami terus berjalan, mendaki, berbelok, menurun, melewati beberapa persimpangan, hingga tiba-tiba jalan yang kami lalui buntu! Tidak ada tanda-tanda bahwa jalan sesudah ini pernah dilewati orang. Ujung jalan buntu itu terletak di dasar lembah. Kami bingung, karena di peta seharusnya jalur pendakian tidak seperti itu.
Segera kami melakukan orientasi lagi. Saya mengeluarkan peta, mencoba membaca kontur meskipun saat itu terlalu gelap untuk contouring. Jam menunjukkan pukul 11 lebih. Perut mulai lapar minta diisi, tapi kami memutuskan untuk menahannya karena kami harus segera kembali ke jalur pendakian yang sebenarnya. Kami tersesat.
Lukman yang menjadi guide mulai grogi. Hanya ada dua pilihan, yaitu turun kembali ke desa terakhir dan masuk ke jalur yang sebenarnya, atau bikin jalur baru! Pilihan kedua ini sepertinya muncul karena euforia Ngagrong, Merbabu. Waktu itu 80 % jalur Diksar adalah jalur buatan kami, dan hutan Ngagrong jauh lebih lebat daripada Sumbing. Jadi, tentunya lebih mudah bikin jalur di Sumbing.
Dari bawah lembah kami mulai mendaki punggungan kiri ke arah timur laut. Napas mulai terengah-engah. Saya bingung, seandainya saat ini kita berada di jalur lama, lalu pendaki yang di sebelah kiri kami lewat jalur baru, berarti sungainya ada di sebelah kiri kami. Lah sungainya mana ?
Di peta hanya ada dua jalur, jalur baru dan jalur lama, dan jalur baru terletak di sebelah kiri dari jalur lama sedangkan sungai berada di tengah jalur lama dan jalur baru. Sambil berpikir kami terus berjalan hingga tiba di puncak punggungan. Dari sini pandangan agak lebih luas. Punggungan dan lembah di sekeliling kami terlihat jelas. Tapi kami masih misorientasi. Peta kembali dikeluarkan.
Setelah diskusi yang cukup alot, kami memutuskan untuk terus berjalan ke arah puncak. Jarak ke desa terakhir sudah terlalu jauh, lagipula dimana ada keyakinan maka disitu ada jalur pendakian. Perjalanan dilanjutkan. Satu punggungan kami lewati hingga kami tiba di pinggir lembah lagi yang cukup curam. Kami turuni. Samar-samar di kejauhan kami melihat kelip lampu senter pendaki lain. Persis di punggungan seberang lembah ini. Sepertinya mereka juga melihat cahaya senter kami. Mungkin mereka heran, kok ada pendaki di dasar lembah? Bukan di jalur pendakian pulak.
Tiba – tiba mereka berteriak ! “HOOOOIIII MAAASSS… LEWAT SINI MAASS …!!”
Kami jawab, “Itu masnya udah dimanaa ??”
Mereka jawab lagi, “POS 1 BOSWEISEEN MAAASSS…!”
Anjing, kok Bosweisen ? Saya jadi tambah bingung. Kalo mereka di jalur baru, bagaimana bisa mereka ada di Pos 1 Bosweisen? Jalur lama dan jalur baru kan bertemunya di Pasar Setan?
Karena penasaran, kami bertanya lagi, “Itu jalur apa maaass ??”
Dan jawaban mereka sangat mengejutkan kami, “JALUR BARU MAAAASSS!”
Walah, saya jadi tambah bingung. Peta kami keluarkan lagi…
Nah lho, kalo itu benar jalur baru, dan posisi mereka saat ini di Bosweisen, terus kita ada di jalur mana? Berdasarkan peta, jalur baru ada di sebelah kiri dari Bosweisen, sedangkan kami ada di sebelah kanannya. Lama kami mencoba memahami hingga akhirnya kami sadar, kesalahan ada pada Guide kami huahahaha…
Dia pikir jalur lama adalah jalur baru, dan jalur baru adalah jalur lama. Jadi ketika kami lewat jalur lama yang sebenarnya adalah jalur baru, di peta kami membacanya sebagai jalur lama sehingga kami mengalami misorientasi. Bingung kan? Begitulah. Akhirnya jalur yang kami lewati tadi kami namakan: JALUR ALTERNATIF.
Kami langsung menuruni lembah itu dan mulai mendaki punggungan menuju Bosweisen. Setengah jam kemudian, kami akhirnya berada di jalan setapak yang merupakan JALUR BARU gunung Sumbing. Tadinya saya sempat berpikir untuk bermalam di tengah ladang penduduk tanpa air, berarti tanpa makan dan minum.
Perjalanan kami lanjutkan lagi hingga kami tiba di Pos 1 Bosweisen. Disini jalur pendakian berpotongan dengan sungai kecil yang airnya sangat jernih dan segar. Sungainya sendiri terbentuk dari lava yang mengeras. Ada beberapa pendaki yang sedang beristirahat dan mengisi air juga. Mereka adalah pendaki yang tadi berkomunikasi dengan kami.
Bekal air minum kami telah habis sejak 1 jam yang lalu. Naik turun lembah dan punggungan membuat tenggorokan kering kerontang. Rudi segera mengisi botol minumnya dengan air sungai lalu minum tanpa bagi-bagi. Besok paginya dia muntah – muntah. Ketika dia mau gosok gigi di tempat dia mengisi air malam sebelumnya, ternyata disitu ada: TAI SEGAR. Sepertinya baru berumur sekitar 2 hari karena teksturnya masih cukup bagus.
***
Kami segera mencari tempat di sekitar sungai untuk mendirikan tenda karena di posko sudah ada yang menempati. Dari kawan-kawan pendaki itu kami tahu bahwa saat ini ada lebih dari 30 pendaki yang sedang berada di gunung Sumbing.
Hujan rintik – rintik kembali turun. Rudi yang sudah kelelahan langsung masuk tenda dan tidur. Kami bertiga memasak sambil minum kopi susu hangat dan bercerita panjang lebar tentang jalur alternatif tadi. Selesai makan malam, kami tidur setelah sebelumnya menghasilkan rencana pergerakan besok: Bangun jam 9 pagi, masak, makan, packing, lalu memulai pendakian jam 11 siang dengan target Pos Watu Kotak yang merupakan pos terakhir sebelum puncak. Summit Attack akan kami lakukan jam 3 subuh, lalu turun dan pulang ke Jogja. Ternyata benar, manusia merencanakan, Tuhan juga. Kali ini rencana Tuhan yang berjalan.
25 Desember 2007
Selamat Nataaall !!!
Kami bangun jam 8 pagi karena hujan deras yang mendadak turun. “Ah, paling cuma sebentar,” komentar Rudi. Ternyata salah lagi. Hujan bertambah deras dan sepertinya tidak akan berhenti. Rencana kami untuk bergerak terpaksa harus kami tunda.
Seharian kami habiskan dengan tidur, foto-foto narsis, makan biskuit, tidur, makan lagi, dan melamun. Hingga jam 5 sore tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, malah semakin deras. Kami memutuskan untuk menunda pergerakan kami, dan menyusun rencana baru setelah menghitung kecukupan logistik untuk 3 hari lagi. Kami akan bergerak besok pagi. Seandainya hujan tidak reda kami akan tetap naik. Setidaknya kami tidak akan berhenti hanya sampai di Pos 1 ini saja.
Berdasarkan peta (yang kali ini orientasinya sudah benar), jarak dari Pos 1 ke pos-pos berikutnya tidak terlalu jauh. Seandainya kami memulai perjalanan siang pun kami masih bisa mencapai Pos Watu Kotak sebelum malam.
Malamnya hujan tambah bersemangat. Air hujan mulai merembes masuk membanjiri tenda kami. Segera Rudi dan Lukman keluar untuk membuat saluran air alias drainase. Sayangnya di sebelah kiri tenda ada batu besar, dan di batu itulah air mengalir dengan derasnya. Mana mungkin bikin drainase di batu pake parang? Dan kami pasrah menyaksikan bagian bawah tenda kami tergenang. Malam itu kami tidur diatas air, dan tentunya tidak nyenyak.
26 Desember 2007
Jam 7 pagi hujan reda, namun langit masih sangat mendung. Sungai kecil tempat kami mengambil air sudah berubah warna menjadi coklat. Untungnya Lukman sudah mengantisipasi hal ini, semalaman dia menampung air hujan yang mengalir dari atap tenda dan berhasil mengumpulkan lebih dari 15 liter! Kami lalu masak dan makan di pinggir sungai sambil menikmati pemandangan gunung Sindoro di kejauhan.
Sekitar jam 9 kami membongkar tenda dan packing. Kami harus berkejaran dengan waktu agar tidak bertemu dengan hujan lagi. Satu jam kemudian, kami mulai bergerak menuju ke Watu Kotak. Carrier semakin berat karena sudah berisi air, masing-masing orang membawa 6 liter ditambah dengan air minum untuk perjalanan. Mendung masih menggantung.
Kira-kira jam 12 siang kami istirahat cukup lama di pertengahan Pos 1 dan Pos 2. Di sini kami bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang bergerak turun. Dari mereka kami mengetahui bahwa di atas tidak ada pendaki lagi, semuanya sudah turun. Mereka adalah rombongan terakhir. Dan ternyata tidak ada satu kelompok pun yang berhasil mencapai puncak.
“Badai di Pasar Setan kuenceng banget mas.. Kami nggak bisa bertahan lebih lama lagi di atas”, kata mereka. Kawasan Pasar Setan hingga puncak gunung Sumbing memang sering dihajar badai dari malam sampe pagi sampe malam sampe pagi lagi sampe bosan.
Kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Pos 2. Di sini terdapat mata air, dan lokasinya juga lumayan luas. Bangunan posnya juga lumayan bagus, cukup besar dan beratap seng. Banyak cerita yang bilang, di Pos 2 ada Sundel Bolong. Karena bertemu Sundel Bolong bisa bikin Rudi mati kejang, kami bergegas meninggalkan Pos 2 dan tiba di sebuah pohon besar yang lokasinya cukup terbuka.
Di sini ada batu nisan, In Memoriam untuk meninggalnya seorang pendaki pada tanggal 31 Desember tahun lalu. Pemandangan dari sini cukup bagus, desa-desa di kaki gunung Sumbing dan Sindoro terlihat dengan jelas. Langit masih mendung, tapi tidak ada tanda – tanda akan turun hujan, apalagi badai. Kami melanjutkan perjalanan.
Dari pohon besar kondisi jalan mulai terbuka. Kawasan Bosweisen, yang merupakan perbatasan antara hutan dengan ladang telah kami tinggalkan. Kami berjalan di atas puncak punggungan yang kiri kanannya adalah lembah. Pohon – pohon kering bekas terbakar terlihat cukup menyeramkan.
Kondisi medan semakin terjal dengan tanah merah berpasir dan licin. Udara pun mulai terasa menipis. Kami menambah ketinggian sedikit demi sedikit, berkali-kali istirahat, dan akhirnya angin kencang mulai menerpa. Semakin mendekati Pasar Setan, angin semakin kencang. Butiran-butiran hujan juga mulai terasa di kulit, dan suhu turun semakin dingin. Kadang kami harus berusaha menjaga keseimbangan karena tubuh oleng ditiup angin. Akhirnya, sekitar jam 2.30 menjelang sore, kami berhasil mencapai Pasar Setan, tempat pertemuan Jalur Lama dan Jalur Baru.
Pasar Setan adalah tempat terbuka tanpa ada satu pun pohon besar untuk berlindung. Angin bertiup semaunya, menimbulkan suara menderu yang membuat nyali kami cukup menciut. Badai telah tiba.
Kabut yang turun semakin tebal, jarak pandang hanya 10 – 15 meter. Karena tidak ada tempat untuk mendirikan tenda, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga menemukan tempat yang cukup aman dan terlindung dari serangan badai.
Perjalanan semakin terasa berat karena medan yang menanjak dan suhu udara sangat dingin. Angin yang membawa butiran air bertiup semakin kencang, kira-kira 80 – 100 km/jam. 15 menit berjalan, efeknya mulai terasa. Bagian wajah yang tidak tertutup mendapat serangan langsung dari angin yang sedingin es. Akhirnya, komunikasi kami jadi lucu.
Kata Rudi, “Kow ak hadi huhah womong yah..?” (kok aku jadi susah ngomong ya).
“Hitu ahtina hentar hagi hamu mhathi…” (itu artinya bentar lagi kamu mati…), kata Lukman.
“Hwasyuu…” (Asu…), kata Rudi lagi.
“Hwahwahwahwa….”
Wajah kami terasa kaku dan susah untuk berbicara. Jari tangan ikut membeku, setiap kali saya memegang batang pohon atau batu untuk membantu tubuh naik, setiap kali itu juga rasa sakit terasa.
Kami menambah ketinggian perlahan-lahan. Setiap kali ada batu besar kami berhenti sebentar untuk istirahat sambil berlindung. Gendang telinga mulai terasa sakit, mata berair, kepala pusing, dan napas terasa sesak. Udara dingin yang masuk ke paru-paru setiap kali saya menarik napas membuat dada saya terasa perih. Kami harus segera mencari tempat untuk mendirikan tenda dan beristirahat sebelum keadaan menjadi lebih buruk.
Satu jam kemudian kami memasuki kawasan berbatu. Jalan yang tadinya tanah merah berpasir kini berganti dengan bebatuan dari ukuran kecil hingga raksasa. Inilah kompleks Pasar Watu. Di sini pendaki dilarang untuk mengeluh dan buang air sembarangan. Konon kalo kita mengeluh maka perjalanan akan terasa semakin jauh, panjang, dan lama.
Maka, kami mengganti kata “aduh” dengan “asyik,” “capek” dengan “segar,” dan “istirahat” dengan “disko” untuk membodohi penunggu di Pasar Watu. Jadi ketika kami capek dan pengen istirahat, yang keluar adalah kalimat ini:
“Asyiiik, segar banget nih. Disko dulu yuuuk…”
***
Kami membaca papan petunjuk yang dipaku di pohon tepat di persimpangan. PASAR WATU.
Saat itu hampir jam 5 sore, dan hari mulai gelap. Dari persimpangan kami bergerak turun ke arah kiri. Di tepi jalur pendakian ada tempat yang cukup luas, paling tidak cukup untuk mendirikan tenda. Tapi tempat itu berhadapan langsung dengan lembah, dan menjadi tempat berputarnya angin dari arah bawah.
Badai makin menggila, mengepung kami dari segala arah. Kami memutuskan untuk berhenti dan mendirikan camp disini, karena Rudi sudah tidak sanggup lagi berjalan hingga Watu Kotak. Saya sendiri sudah menggigil kedinginan dan gerakan tubuh juga sudah kaku.
Carrier kami lepaskan, dan dengan susah payah tenda kami dirikan. Tidak ada pohon untuk mengikat tiang-tiang tenda, dan akhirnya kami menggunakan batu besar. Kalo tidak diikat, bisa-bisa tenda kami diterbangkan ke langit.
Tenda berdiri, barang-barang segera kami masukkan ke dalam sebagai pemberat. Rudi segera masuk dan merebus air untuk membuat kopi susu panas, sedangkan kami bertiga memperkokoh posisi tenda. Jari-jari tangan saya sudah kram karena dingin. Mengikat tali tenda jadi penuh perjuangan karena rasa sakit pada jari yang makin tak tertahankan.
Setelah yakin tenda kami cukup kokoh untuk menahan badai, saya melepas sepatu, mengganti baju yang basah dengan baju kering, dan minum kopi susu panas sambil ngobrol.
Tiupan angin membuat tenda kami miring kiri miring kanan, rasanya mau diterbangkan badai. Kami cuek, lalu masak enak. Menu malam itu adalah :
– Nasi 2 nesting
– Omelet spesial ukuran jumbo
– Ikan asin goreng pedas
– Tumis buncis
– Teh panas
Wuah rasanya seperti hidup lagi selesai makan. Kami merokok sebatang, dan jam 7 malam kami tidur. Sleeping bag yang agak-agak basah tidak mengganggu tidur kami yang terlalu lelap karena kelelahan. Kami tidur, dalam tenda yang dindingnya basah, di bawah tebing batu besar, di pinggir lembah yang curam, dan di tengah kepungan badai gunung Sumbing.
***
“Kraakk…!!”
“Heh ? Apa tuh ?”
“Kayaknya ada yang patah”
“Jangan-jangan frame-nya ? Ini atapnya udah kena mukaku…”
“Feb, coba dicek..”
“Headlamp mana ?”
“Di kantong tenda”
“Kantong tenda dimana?”
“Di biji mata. Di samping tenda lah dodol”
“Kayaknya frame-nya nih, wah gawat…”
Lukman dan Febi segera keluar dari tenda. Saya melihat jam, masih jam 10 malam. Ampun, seandainya frame-nya benar-benar patah, bencana lah bagi dunia.
“Dua frame pataaahh !!” teriak Febi dari luar.
“Patah tulang dalam atau luar?”
“Munyuk.. Entar, coba dibenerin dulu”
“…………………”
“Ga bisa nih, patahnya parah. Awas, kami mau masuk.”
“Terus gimana nih ? Kayak gini aja ?”
“Kayak gini aja.”
Tenda kami tidak berbentuk lagi. Dua frame yang saling silang di puncak dome patah, membuat atap tenda menjadi sangat rendah. Frame di teras tenda juga lepas. Kami tidak mampu bertahan di luar sekedar untuk memperbaikinya, karena suhu saat itu sangat dingin dan angin masih bertiup dengan kencangnya. Hujan juga semakin deras.
Saya berhitung. Jika kami terserang hypothermia, maka tidak akan ada waktu dan tenaga yang cukup untuk melakukan evakuasi. Kami menyiapkan peralatan masak seandainya ada salah satu dari kami yang terserang penyakit mematikan itu. Tidak terlalu jauh di lubuk hati, saya merasakan takut. Ketakutan yang muncul ketika kita berada di perbatasan antara resiko hidup dan mati… Kami duduk di setiap sudut tenda, menjaga agar tenda itu tidak hancur dihantam angin. Kami berdoa.
Air mulai merembes dari segala arah, membasahi bagian dalam tenda dan sleeping bag kami. Rasa kantuk yang menyerang membuat kami satu per satu tumbang, mencoba untuk tidur agar bisa segera menyambut pagi. Berdempetan, kami tidur dan terbangun setiap setengah jam karena amukan badai menampar tenda terus menerus.
Biasanya badai akan mereda ketika pagi, dan itulah harapan kami untuk bisa setidaknya mengembalikan kondisi fisik mental serta memperbaiki tenda. Rencana untuk melakukan pendakian ke puncak kami simpan sampai besok. Pagi, cepatlah datang…
27 Desember 2007
Jam 6 pagi! Dari dalam tenda, langit kelihatan agak terang. Badai belum berlalu. Satu per satu kami bangun dan keluar untuk membaca situasi. Satu per satu kami shock.
Ini tenda kami kemarin sore.
Ini tenda kami pagi itu.
Kenyataan pahit yang harus bisa kami terima dengan ikhlas. Kenyataan bahwa kami harus mengganti frame yang patah. Bukan, bukan karena kami tidak mau mengganti. Tapi karena telah terjadi pembenaran atas hukum di Mapala : “Nggak bisa beli, tapi bisa ganti..”
Ya, beli untuk diri sendiri tidak bisa. Tapi kalo mengganti punya orang, pasti bisa.
Pagi itu badai tidak mereda, malah semakin kencang. Logistik kami berhamburan kemana- mana. Beras basah dan tidak bisa dimasak lagi, sayuran hilang entah kemana, ikan asin bercampur dengan lumpur, dan semua telur pecah. Hanya sarden dan mie instan saja yang masih utuh. Akhirnya, pagi itu kami tidak makan, karena gas di tabung terakhir kami juga tinggal sedikit. Hanya cukup untuk merebus air saja.
Kami berembug tentang rencana pendakian ke puncak. Akhirnya diputuskan, saya dan Febi yang akan melakukannya, sedangkan Rudi dan Lukman akan standby di camp sekaligus siap dengan emergency plan seandainya terjadi sesuatu dengan kami. Segera saya menyiapkan kamera, rain coat, dan biskuit yang dibagi dua dengan Rudi dan Lukman.
Saya menggunakan semua baju kering yang masih tersisa. Kaos, kaos lagi, sweater, dan terakhir raincoat. Berbekal peta, sebotol air panas, rokok, dan sebungkus biskuit, saya dan Febi melangkah menuju puncak gunung Sumbing yang jalurnya sama sekali belum pernah kami lalui.
Kecepatan angin saat itu sekitar 90-100 km/jam, hujan gerimis, dan kabut tebal dengan jarak pandang hanya 5 meter. Jarak dari tenda sampai ke puncak adalah 3 km, dan di kiri kanan jalur terdapat jurang dalam yang dasarnya tidak terlihat karena tertutup kabut.
Rencananya adalah mendaki secepatnya hinggai puncak, mengambil dokumentasi, lalu turun secepatnya juga. Kami sadar resiko yang kami ambil sangat besar. Seandainya di perjalanan salah satu dari kami mengalami kecelakaan, maka yang satunya harus segera turun ke camp untuk memanggil Rudi dan Lukman. Kalo hypothermia yang menyerang, maka kami harus segera turun hingga ke camp lalu melakukan evakuasi hingga ke Pos 2.
Masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan lain, seperti tersesat, jatuh ke jurang, atau dimakan setan. Tapi saat itu niat kami hanya satu, bagaimana pun caranya kami harus sampai puncak. Bukan karena demam puncak, tapi karena kali ini saya tidak mau mengalami kekalahan mental seperti di gunung Slamet tahun lalu dengan kondisi yang sama. Kami belum habis, kami masih kuat, dan kami masih akan berjuang. Ketika kami sudah mencapai batas kami, barulah kami akan menyerah. Begitu kesepakatan antara saya dan Febi sebelum mulai berjalan.
Jam 8.30 WIB. Kami berjalan selangkah demi selangkah untuk melakukan aklimatisasi. Kondisi jalan berbatu membuat kami kadang harus melakukan scrambling untuk menambah ketinggian. Badai masih menemani kami, kadang mendorong tubuh kami ke kiri. Dan 30 menit kemudian, kami tiba di Watu Kotak.
Pos ini dinamakan demikian karena ada dinding batu yang sangat besar berbentuk kotak berdiri dengan kokoh. Angin kencang menjadi lembut di sini, terhalang oleh batu yang tingginya kira-kira 20 meter itu. Dan ternyata, di sini ada tempat datar dan SANGAT NYAMAN untuk mendirikan tenda. Terlindung dari angin, banyak kayu bakarnya, dan yang terpenting, rata. Syit.
Kami beristirahat sebentar di Watu Kotak, lalu melanjutkan perjalanan lagi menembus badai yang semakin ke puncak semakin kencang.
Kira-kira satu jam kemudian kami tiba di Tanah Putih. Jalur pendakian semakin tipis, dengan lebar hanya 1 meter. Tapi lepas dari Tanah Putih jalur kembali melebar dengan susunan batuan yang semakin besar dan rapuh.
Ujung jari dan wajah saya mulai terasa membeku lagi, dan setiap kali saya menggunakan tangan untuk berpegangan, rasa sakit itu kembali menyerang. Perut tiba – tiba rewel, lapar. Berjalan dengan perut kosong memang membuat konsentrasi jadi sering buyar. Seandainya kami berhasil melalui ini dengan selamat, saya akan makan sebanyak – banyaknya di jalan pulang nanti.
Kami terus mendaki, dan kadang-kadang terhenti karena terdorong angin. Beberapa kali sempat pula terduduk jatuh, dan dalam situasi seperti itu, masih saja saling mengejek. Gejala-gejala penyakit ketinggian mulai mendatangi saya. Udara terasa semakin tipis dan dingin, membuat paru-paru nyeri setiap kali menarik nafas.
Ketika rasa nyeri itu semakin parah, kami minum air panas.Ternyata manjur, dan membuat dada terasa lega kembali. Dalam perjalanan melewati Tanah Putih saya sempat mendengar suara orang memanggil nama saya dari arah jurang.
Kami terus berjalan… dan berjalan… dan berjalan… Akhirnya :
3.371 mdpl!!! Kami tiba di puncak gunung Sumbing yang berketinggian 3.371 meter dari permukaan laut, titik tertinggi yang pernah kami capai seumur hidup! Kami merayakannya dengan seteguk air hangat dan sebatang rokok sambil berlindung di balik batu. Saya mengucap syukur karena masih hidup di titik ini, dan berdoa semoga bisa turun kembali dengan selamat.
Mungkin ini adalah pencapaian puncak gunung yang paling berat bagi saya, karena kondisi medan yang luar biasa berat. Memang belum apa-apa dibanding pengalaman pendaki lain yang mungkin jauh lebih ekstrim, tapi bagi saya pencapaian ini memiliki arti besar dalam penguatan mental saya. Ya, disaat kami berada dalam garis tengah antara maju atau mundur dengan resiko kematian yang membayangi, kami memilih untuk tidak mundur. Bukan memilih untuk maju, atau mundur, tapi memilih untuk tidak mundur selama masih ada keyakinan dan motivasi kecil dalam hati. Karena keyakinan adalah kekuatan.
Seharusnya dari puncak terlihat pemandangan yang indah, tapi kali ini yang terlihat hanya kabut kelabu sejauh mata memandang. Bahkan kawah pun tidak kelihatan sama sekali. Badai di daerah puncak terasa sangat kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Kami segera melakukan dokumentasi dengan sangat hati-hati, karena tempat kami berpijak sangat kecil. Dengan sedikit senyum yang agak dipaksakan, kami berpose.
Selesai mendokumentasikan puncak, kami berdua segera bergerak turun karena hujan juga mulai deras. Perjalanan turun tidak bisa dikatakan mudah, karena jalur berbatu yang amat terjal dan licin. Sesekali bantuan tangan diperlukan untuk menjaga tubuh agar tidak jatuh.
Dalam waktu satu jam kami sudah tiba lagi di camp, di sana Rudi dan Lukman terlihat cukup menderita hehehe.. Begitu mereka mendengar suara kami, mereka segera keluar dari tenda menyambut kedatangan kami.
Kami lalu packing secepat-cepatnya agar bisa turun sebelum cuaca bertambah buruk. Semua barang tumpuk-menumpuk tak beraturan, yang penting masuk carrier. Ada kejadian lucu, ketika piring melamin milik Rudi mau dipacking, ternyata piringnya sudah pecah. Dia lalu melemparnya ke carrier dan saat itu juga piring tersebut terbang dibawa angin berkecepatan tinggi menuju punggungan seberang !
Dengan tubuh menggigil karena dingin, capek, dan kelaparan, kami berjalan turun, jatuh bangun menembus badai. Salah satu hal yang menyebabkan kebanyakan pendaki lebih memilih untuk naik daripada turun adalah karena dengkul cekot-cekot, jari kaki lecet, paha sakit, dsb. Memang tenaga yang dikeluarkan untuk turun gunung tidak sebesar tenaga yang dikeluarkan untuk naik, tapi penderitaannya beda. Asli, serba salah. Jalan pelan sakit, cepat lebih sakit, lari… gila apa?
Dalam 30 menit kompleks Pasar Watu telah kami tinggalkan. Jalan berbatu kini berganti dengan tanah merah berpasir. Dan kira-kira satu jam kemudian kami tiba di Pasar Setan. Alhamdulillah, karena dari Pasar Setan ke bawah badainya sudah tidak sekencang di atas. Akhirnya kami bisa bernapas lega, dan segala ketakutan berganti dengan kegembiraan. Kami berhenti untuk istirahat sebentar sambil merokok, dan mulai mengatur rencana “Balas Dendam” kami yaitu makan enak sekenyang-kenyangnya di Parakan nanti.
Dari Pasar Setan kami bergerak turun lagi hingga ke Pos 2. Cuaca disini sudah normal, aman, dan tenang. Saya membalikkan pandangan ke arah puncak lagi. Puncak gunung Sumbing sudah tertutup awan gelap. Saya masih bisa merasakan aura seramnya dari jauh.
Kami turun terus hingga akhirnya tiba di Pos 1 Bosweisen. Setelah cuci-cuci sebentar dan istirahat 15 menit, kami lanjut turun lagi melewati kebun dan ladang milik penduduk dengan sejuta keindahan. Jam 3 sore kami tiba di pintu masuk gunung Sumbing, pertigaan yang menyesatkan itu.
Basecamp! Dengan penuh kelegaan kami tiba di basecamp pendakian dusun Garung. Selamat, gak mati, masih hidup dan utuh. Kami langsung melepas carrier kami yang penuh lumpur, bersih-bersih, ganti baju kering, mengeluarkan motor masing – masing, lalu pamitan dengan penjaga Basecamp. Jam 4 sore kami pulang ke Jogja, tidak lupa kami mampir di Parakan untuk “balas dendam” makan enak sekenyang-kenyangnya..
Dalam perjalanan pulang, sesekali dari kejauhan saya menoleh ke arah gunung Sumbing. Gunung itu telah mengubah mental kami dalam 24 jam dan mengajarkan kami untuk tidak mudah menyerah selama masih ada keyakinan, bahwa keyakinan adalah kekuatan, dan bahwa musuh utama dalam pendakian adalah diri sendiri.