Saya melirik jam tangan saya.
6.30 pagi WIT, artinya 4.30 subuh WIB. Kami telah melewati zona waktu WIB dan WITA untuk tiba disini. Pesawat telah mendarat dengan mulus di runway yang agak berjerawat. Audrey dan Diana sejak tadi menempelkan wajahnya di jendela pesawat, tidak sabar untuk segera turun saking bersemangatnya. Semangat sekali mereka.
Hangat sinar mentari pagi menyambut kami ketika keluar dari pintu pesawat. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Papua. Sebenarnya saya mau jingkrak-jingkrak kegirangan tapi berhubung rame terpaksa saya jaim. Audrey dan Diana? Sekilas saya melihat mereka salto dan sujud syukur.
Setelah membereskan bagasi kami yang jumlahnya ratusan kilogram, kami menuju hotel Mansinam, tempat kami akan menginap selama di Manokwari. Kami dijemput Mbak Suwasti, pendamping untuk tim Papua Barat. Mbak Suwasti sudah standby sejak jam 5 pagi menunggu kedatangan kami. Saat saya sedang mengurus bagasi, beliau terlihat salto juga akibat kegirangan karena tim yang didampinginya keren.
Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua Barat, bukan Sorong. Kenapa? Kenapa ya…
Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua Barat. Kata Manokwari sendiri berasal dari Bahasa Biak Numfor yang berarti “Kampung Tua”. Kota ini merupakan kota pemerintahan pertama di tanah Papua, sekaligus merupakan pintu masuk bagi ajaran Kristen yang hingga kini menjadi kepercayaan mayoritas disana.
Menurut catatan sejarah, ajaran Kristen dibawa oleh dua misionaris asal Jerman yaitu Carel Willem Ottow dan Johann Gotlob Geisller melalui pulau Mansinam, sebuah pulau yang terletak di seberang kota Manokwari. Dari Mansinam kemudian ajaran itu berkembang pesat hingga ke seluruh wilayah tanah Papua.
Begitu banyak situs yang menjadi bukti sejarah mengenai awal masuknya Injil di Manokwari bisa kita temukan, dan suasana kota ini juga sangat religus. Anda tidak akan menemukan minuman beralkohol di kota ini, entah di toko atau pun hotel, karena ada larangan dan sanksi tegas bagi siapa saja yang menjual atau mengkonsumsinya. Keren kan?
Komunitas asli terbesar di Manokwari adalah masyarakat Arfak. Hans Mandacan, guide kami ketika kami mengeksplor gunung Meja di pegunungan Arfak adalah pemilik marga dengan jumlah terbesar di Manokwari. Om-nya bahkan merupakan calon gubernur Papua Barat, tapi sepertinya pemenangnya adalah pasangan Bram-Katjong. Di Kapadiri mereka menang mutlak sih, dan sepertinya di tempat lain juga begitu. Ok kembali ke topik pembicaraan.
Rumah tradisional masyarakat Arfak dikenal dengan nama Mod Aki Aksa atau Igkojei. Bentuknya unik, seperti rumah panggung tapi berdiri diatas tiang-tiang kayu dengan jumlah yang sangat banyak tanpa jendela dan hanya ada dua pintu, pintu depan dan pintu belakang yang terletak pada satu garis lurus. Nama lain untuk rumah tradisional ini adalah Rumah Kaki Seribu. Di tempat kami bermalam, keluarga Hans Mandacan tinggal di rumah tradisional ini, sedangkan kami menginap di rumah turis, sebuah rumah sederhana tetapi nyaman, bersih, dan keren.
Banyak objek wisata yang bisa dicapai dari Manokwari. Untuk daerah jelajah dalam kota atau agak diluar kota, bisa ditempuh menggunakan ojek dengan tarif antara 5 ribu hingga 15 ribu rupiah saja. Ada apa saja di Manokwari yang sempat kami jelajahi?
1. Pegunungan Arfak
Ini adalah tempat dimana masyarakat Arfak tinggal, kawasan cagar alam sebesar 68.325 Ha dengan pemandangan yang luar biasa indah. Di kawasan pegunungan Arfak ini terdapat 333 jenis burung dengan 4 diantaranya endemik seperti burung Namdur atau Bower Bird yang ahli meniru segala jenis suara dan rajanya menghias sarang untuk memikat betinanya. Uniknya lagi, sarang itu hanya digunakan untuk kencan, sedangkan untuk bertelur burung Namdur membuat sarang lain diatas pohon. Ya, burung ini memang playboy, eh, playbird.
Ada banyak jalur pendakian disini. Kami memilih jalur pendakian melalui kampung Kwau untuk menuju gunung Meja, karena itu yang paling dekat (jarak tempuhnya hanya 2 km). Sebenarnya saya ingin mengambil jalur trekking yang lain yang lebih panjang tapi nanti Audrey dan Diana sedih, kasian mereka. Untuk menuju entry point gunung Meja melalui Kwau, kami mencarter mobil kelas off-road dengan tarif 2 juta rupiah PP. Mahal? Mahal, tapi tidak ada moda transportasi lain kecuali mau jalan kaki, mungkin sebulan baru tiba. Taksi menuju gunung Meja bisa anda temukan di Pasar Wosi.
2. Pantai Arfai dan Anggresi
Percayalah Esmeralda, kalo anda pecinta snorkeling, kedua tempat ini sangat memuaskan. Karang-karangnya masih sehat, dan ikan-ikannya juga cukup banyak. 2 hari kami habiskan untuk snorkeling di tempat ini dan tetap tidak puas. Pantai Arfai bisa dicapai dengan menggunakan ojek dengan tarif 15 ribu rupiah, sedangkan untuk menuju Anggresi harus menyewa boat dengan tarif 500 ribu rupiah seharian. Bisa sih 250 ribu, tapi nanti pulangnya berenang sendiri sampai Arfai.
3. City Tour
Anda bisa melakukan wisata pasar tradisional dengan mengunjungi Pasar Wosi, salah satu pasar tradisional besar di Manokwari. Apabila tertarik dengan sejarah misionaris saat masuk Manokwari, anda bisa berkunjung ke monumen Woelders di Anday, dimana cerita penyebaran injil digambarkan melalui relief yang unik. Saat berada disana, kami juga sempat mengikuti night ride bersama komunitas sepeda Manokwari keliling kota. Mereka baik sekali. Jadi terharu…
4. Dan masih banyak lagi
Waktu 3 hari di Manokwari tidak cukup untuk menjelajahi seluruh objek wisata yang ada disana baik dalam maupun luar kota. Intinya adalah Manokwari merupakan salah satu kota tujuan wisata apabila anda tertarik dengan sejarah, religi, ataupun alam dan petualangan. Burung juga. Kupu-kupu juga. Bawah laut juga. Aaaa pokoknya komplit. Ketika meninggalkan Manokwari menuju Sorong, saya menatap kota ini dari jendela pesawat lama-lama. Tempat dimana kaki saya menjejak tanah Papua untuk pertama kalinya. Sampai bertemu lagi, terima kasih untuk sambutannya yang begitu hangat. Sekilas, terlihat Audrey dan Diana sedang latihan salto menjelang tiba di Sorong…