Sorong. Mendengar nama kota ini, saya langsung teringat dengan seekor bebek angsa yang dipotong lalu dimasak di kuali. Saya juga teringat dengan seorang nona yang minta dansa empat kali. Singkatnya sejak kecil saya sudah mengenal Sorong, dan kali ini berkesempatan untuk mengunjunginya bersama Team 20 Papua Barat ACI Detikcom.
Kami terbang dari Manokwari naik naga yang mirip kura-kura selama kurang lebih 45 menit, dan tiba di Sorong jam 12 siang. Sorong adalah kota termaju di Papua Barat meskipun bukan ibukota provinsi dan sejak dulu telah menjadi pintu masuk utama untuk menuju provinsi ini. Sorong juga bukan kota yang adem, kata orang matahari di Sorong ada dua saking panasnya. Kami turun dari pesawat naga dengan berkacamata hitam biar keren, kemudian berjalan kaki menuju pintu kedatangan. Sengaja kami tidak naik bus karena angin bertiup cukup kencang. Ya, itu tidak ada hubungannya.
Di ruang kedatangan kami panik, carrier Diana tidak ada! Jelas kami panik, karena carrier itu isinya 3 set alat diving dan 2 buah laptop serta beberapa lensa kamera. Audrey dan Diana langsung terduduk lemas dan tidak henti-hentinya menangis sesunggukan. Kami segera menghubungi pengurus pesawat (apa pula ini pengurus pesawat) dan menanyakan keberadaan carrier itu. Ini serius, pesawat ditunda keberangkatannya selama 30 menit lebih demi mencari carrier Diana yang akhirnya berhasil saya temukan di bagasi pesawat, teronggok lemas tak berdaya. Terus terang, ini pertama kali saya masuk dalam bagasi pesawat, terima kasih ACI Detikcom untuk kesempatan ini. Hiks…
Banyaknya barang membuat kami harus menggunakan porter. Nah, kawan, sebaiknya apabila menggunakan jasa porter bertanyalah dulu sebelum mereka mengangkat barang-barangnya. Jarak dari ruang kedatangan menuju ke taksi hanya sekitar 20 meter, dan biasanya porter meminta bayaran 10 ribu per tas yang menurut kami kelewat mahal karena di Manokwari jasa porter hanya 10 ribu per orang.
Kami menginap di hotel Mamberamo, hotel modern yang sangat nyaman dengan kualitas makanan nomor satu! Harganya pun tidak berbeda jauh dengan harga makanan diluar yang memang sudah mahal dari sononya. Hotel Mamberamo terletak di jalan Arfak, dekat toko oleh-oleh tradisional dan rumahnya Om Sandhy. 50 meter ke arah pantai ada laundry kiloan, dan 100 meter kemudian ada boulevard, atau oleh masyarakat Sorong dinamakan “Tembok”, daerah pesisir pantai dalam kota yang ada temboknya dan banyak orang jualan makanan, saraba, dll. Semoga penjelasan saya ini dapat dimengerti.
Selama di kota Sorong kami hanya sempat mengunjungi pantai Tanjung Kasuari dan pulau Soop karena keterbatasan waktu. Pantai Tanjung Kasuari terletak di ujung kota Sorong, hanya 30 menit menggunakan angkot. Pantai ini hanya ramai di hari sabtu dan minggu, dan sepi di hari kerja seperti ketika kami berkunjung kesana. Pemandangan di pantai ini sangat bagus, sayang tidak dikelola dengan profesional sehingga terlihat sampah dimana-mana. Pintu masuknya pun hari itu tidak dijaga. Padahal pantai seindah itu bisa memajukan pariwisata kota Sorong secara khusus.
Setelah menikmati siang yang sejuk di pantai, kami melanjutkan perjalanan menuju pulau Soop dengan mencarter longboat karena tidak ada transportasi umum untuk kesana. Pulau Soop terletak di seberang kota Sorong, sebuah pulau kecil dengan hamparan pasir putih yang mengelilinginya dan kampung yang sangat sederhana dengan jumlah penduduk yang tidak lebih dari 100 orang. Masyarakat pulau Soop sangat ramah, kami disambut dengan baik dan diajak keliling kampung naik elang. Untuk mengelilingi kampung ini hanya dibutuhkan waktu sejam. Menurut cerita, pada jaman perang dahulu serdadu Jepang sempat menggunakan pulau ini sebagai tempat transit untuk melakukan penyerangan ke Papua. Hal ini dibuktikan dengan adanya bungker perlindungan udara yang menghadap ke Sorong. Kami menghabiskan waktu di pulau kecil ini hingga matahari terbenam kemudian kembali ke Sorong.
Yap, kami harus segera kembali, karena harus mempersiapkan keberangkatan kami besok menuju Waisai, Raja Ampat !
Naga mana naga?