Pagi itu suasana masih sangat sepi.
Orang-orang diam di tempatnya masing-masing, mencoba menahan dingin dengan bersedekap. Petugas penjaga peron tertanduk-tanduk menahan kantuk di kursinya yang keras. Adzan subuh terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Saya bangun untuk melihat jam, sudah setengah lima subuh. Kereta dari Jakarta belum tiba juga. Saya memperbaiki posisi tidur saya di bangku ruang tunggu stasiun Tugu, mencuri waktu tidur sebentar karena dua hari terakhir saya hanya sempat tidur tiga jam. Joe meringkuk kedinginan di bangku sebelah. Kami menunggu Mas Iwan yang akan datang dari Jakarta pagi ini membawa bantuan untuk korban gempa. Saya menutup mata sambil mengingat-ingat kejadian dua hari yang lalu…
27 Mei 2006, 05.55 WIB
Saya tahu saya sedang tidur. Saya tahu saya sedang bermimpi, tiba-tiba saya merasa melayang. Dalam mimpi itu saya melihat tanah tempat saya berpijak semakin jauh di bawah. Saya melayang-layang, kemudian mulai diombang-ambing oleh gelombang angin naik turun. Makin lama makin cepat. Makin lama makin kencang dan tidak beraturan, seperti terperangkap dalam badai! Lalu saya membuka mata.
Guncangan keras disertai bunyi tembok bergeser membangunkan saya. Gempa bumi!
Suara teriakan terdengar dari luar. Barang-barang di kamar saya berhamburan, dari buku-buku, tape compo, monitor komputer, sampai galon aqua. Cermin yang menggantung di dinding jatuh lalu pecah berantakan. Saya coba berdiri, tapi terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Pret. Dalam kebingungan itu akhirnya saya hanya bisa melindungi kepala saya dengan bantal sambil menunggu dalam kepasrahan.
Sekitar 10-15 detik guncangan yang sangat keras itu berlangsung, dan saya tidak bisa keluar dari kamar. Saya melihat isi kamar saya seperti dikocok-kocok oleh tangan raksasa, rasanya tembok kamar saya mau runtuh.
Setelah terkurung cukup lama dalam situasi yang mengerikan itu, akhirnya perlahan gempa berhenti. Melambat, semakin pelan, hingga bumi kembali diam. Saya bergegas keluar dari kamar. Suasana sudah riuh. Teriakan istighfar dan tangisan terdengar di sekeliling saya. Orang-orang berlarian, ada yang memeluk anaknya, ada yang memeluk guling, dan ada yang memeluk orang-orang yang sedang berlarian. Apa coba.
Gila, gempa tadi benar-benar dahsyat.
Saya mengambil handphone lalu berjalan keluar rumah, dan pemandangan mengenaskan pun terhampar di hadapan mata. Rumah di samping kost hancur berantakan, begitu juga dengan rumah di belakang. Seperti baru terjadi perkelahian Transformers di sini.
Saya coba menghubungi teman-teman saya tapi gagal terus, sepertinya jaringan telepon tiba-tiba menjadi sangat sibuk. Saya pake Mentari, iya, Indosat memang suka ngehek. Makanya saya sekarang pake Telkomsel walau ngeheknya sama saja.
Pemandangan di kampus lebih parah lagi. Pagar keliling rata dengan tanah. Atapnya rusak, genteng-genteng jatuh, dan banyak retakan di tembok. Saya berjalan ke belakang, ke sekretariat Mapala sambil berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang mengerikan di sana. Saya mengeluarkan kunci pintu, menarik napas panjang, lalu membukanya. Saya sudah siap seandainya begitu pintu dibuka dan di dalam ada korban, luka atau bahkan meninggal.
Kosong. Tidak ada orang, tidak ada korban, tidak ada yang rusak kecuali beberapa piala yang patah karena jatuh dan monitor komputer yang berbaring pasrah di atas lantai. Saya menguncinya kembali kemudian berjalan ke depan kampus. Satu persatu anak-anak Mapala berdatangan. Saya bersyukur tidak ada yang menjadi korban. Kami mengobrol sebentar, lalu saya dan Ahmed memutuskan untuk keliling Jogja, melihat apa yang terjadi sambil mencari informasi.
Sepanjang jalan yang kami temui adalah ambulans dengan sirene yang meraung-raung. Ada juga mobil-mobil pickup yang membawa korban dengan kondisi yang memprihatinkan. Kepala yang berlumuran darah, tangan yang patah, mayat.. Suasana pagi itu menjadi benar-benar ramai dan menyeramkan. Sepagi itu.
Kami kembali ke kampus dan mengobrol dengan pak satpam. Saat lagi ngobrol, tiba-tiba dari arah selatan muncul gelombang manusia dan kendaraan yang sangat banyak. Mengalir seperti air bah! Ada yang lari, ada yang menangis, dan semuanya kelihatan sangat panik. Ketika saya bertanya pada salah seorang yang lari, dia hanya berteriak,
“Larii, air datang !!”
Air datang?
“TSUNAMIII MAAAASS!!”
Tsunami? Mana mungkin, Jogja berada di ketinggian lebih dari 100 mdpl, air laut mana bisa mencapai daerah sini. Tapi, melihat ratusan orang panik seperti itu, saya jadi ikut panik. Bagaimana kalo benar-benar terjadi tsunami? Bukankah dalam bencana alam segala hal bisa terjadi? Saya segera menghidupkan lagi motor saya, sambil menunggu benar atau tidak air sudah naik hingga ke kota. Tiba-tiba, seorang pria bertubuh kekar dengan betis berotot melompat ke jok motor saya sambil teriak persis di kuping saya,
“LARI MAAASS LARIIII!! TSUNAMI DATANG MAASS!! KYAAAAA!!!”
Anjing.
Pria kekar itu SKSD banget. Belum kenalan tau-tau mbonceng dan ngajak lari. Orang mau kawin lari aja pake persiapan nyet. Saya menoleh ke belakang, melihat wajahnya, dan saat itu juga saya sadar pria ini tidak main-main. Mukanya pucat pasi, tegang, dan dia menangis meronta-ronta meraung-raung memohon-mohon.
Saya shock. Ditambah lagi ratusan orang yang lari-lari di jalan itu gak pake berenti. Mungkin memang air bah sedang menuju ke sini. Saya langsung memacu motor saya, bergabung dengan konvoi orang panik itu menuju ke utara. Target saya adalah naik ke atas jalan layang Janti, tempat tertinggi yang paling dekat dari kampus. Tidak mungkin tsunami bisa setinggi jalan layang, kecuali memang kiamat telah tiba.
Lari.
(Bersambung)
Gila, itu momen orang pada teriak Tsunami keinget banget tu. Korban dari bantul, masih berdarah-darah kepalanya melarikan diri sudah sampai Kaliurang km 6 (kosanku). Kaliurang jadi jalan satu arah: MENUJU MERAPI.
Yang paling keinget lagi, malamnya di RSD bantul, hujan… korban yang diletakan di halaman. Aduh.. yang paling sigap, temen2 yang sudah berpengalaman aftermath di Aceh. Untung ada mereka. Kayaknya tahu persis apa yang harus dilakukan dan dibutuhkan.
Loh kok komenku malah sentimentil? Wis, mbok nulis soal supri pahlawan kolor lagi, Superman dulu diciptakan komiknya ditengah-tengah Great Depresion di Amerika. Mungkin inilah saat yang tepat memunculkan sosok superhero, mengingat banjir besar di jakarta.
Ga nyambung ya komenku…
LikeLike
Ngeri ya waktu itu.
Dalam bayangan gw, tsunami beneran bakal menerjang jogja dan kejadian aceh bakal keulang. Ini kayaknya bakal jd tulisan panjang berseri ‘ndi hahaha, sayang kalo ga ditulis. Terlalu banyak pengalaman, pelajaran, dan ironi selama rentang waktu dari gempa sampe pasca gempa.
Gw pengen banget nih nerusin si Supri kolor kampret itu, tapi belum nemu lanjutannya nih hahahaha… Nulis fiksi memang gampang di awal ya.. Begitu dilanjutin mendadak levelnya jadi “grueling” :s
LikeLike
Antara deg-degan baca ama ngakak … Intinya ditunggu episode kedua-nya…… Larriiii…. Kyaaa…
LikeLike
Ahahaha siaappp bro!!
LikeLike
ini antara dramatis ama nahan ketawa deh om! apalagi di bagian “LARI MAAASS LARIIII!! TSUNAMI DATANG MAASS!! KYAAAAA!!!”emang beneran dia bilang KYAAA?:)) ngakak bener dah! ditungggu part 2 nya ;)
LikeLike
Part 2 nya kan udah ada rosidiiiiin :D
LikeLike