Motor saya melaju meliuk-liuk di antara lautan manusia dan kendaraan ramai. Jarak dari kampus hingga jalan layang Janti hanya 3 km, dan dalam waktu 5 menit saya sudah tiba.
“MAAS JANGAN BERENTI DISINI MAASS!!”
“Hah? Ini udah tinggi banget loh mas, nggak mungkin aernya nyampe sini.”
Saya memandang ke bawah, ke arah kota. Kalo benar tsunami datang, sebentar lagi kota ini akan menjadi bagian dari laut Jawa. Saya bergidik membayangkannya.
“Mas tolong banget mas, kita harus lari, saya belum mau mati di sini. Tolong mas, tadi aja airnya udah nyampe Kotagede. Saya mohon mas, mohon banget.”
Hmm, sepertinya dia nggak boong….
“Tolong mas, tadi teman saya mati di tempat gara-gara ketimpa tembok. Air sumur di hotel saya juga mendadak menyembur. Ayo mas kita lari aja.”
Bused serem abis. Dan kalimat terakhirnya itu, “ayo mas kita lari,” yang diucapkan sambil berurai air mata, rasanya benar-benar kayak ngajak kawin lari. Saya belum siap menempuh hidup baru denganmu mas, saya masih kuliah. Tapi ya sudahlah, gak ada ruginya juga ikut gelombang manusia ini. Kalo pun gak ada tsunami, anggap aja jalan-jalan. Siapa tau malah jadi piknik di Merapi. Ayo kita lari mas, ayo kita berlari bersama menuju Merapi!
Motor Honda Grand ’95 saya kembali beraksi meliuk-liuk, meluncur menuju ke arah Kaliurang, kaki gunung Merapi. Kalo sampe Kaliurang airnya masih mengejar, sudahlah, kiamat dunia ini. Kaliurang itu ketinggiannya sekitar 1000 mdpl.
Di atas motor, saya mencoba menggali informasi dari penumpang saya ini.
“Mas bukan orang Jogja ya? Kok nginap di hotel?” (atau mas lagi ngamar yhaa..)
“Bukan mas, saya dari Bali. Saya baru nyampe Jogja kemarin, rencananya hari ini mau tanding lawan PSS Sleman.”
“Wow. Mas pemain bola?” (pantesan cengeng, pasti kalo main suka diving)
“Iya mas. Saya nggak tau mau ke mana ini.”
Iba juga hati ini. Tiba di Jogja untuk main bola malah disambut bencana. Temannya meninggal di depan mata dia pulak. Saya tidak melanjutkan pembicaraan, dan terus berjalan ke arah utara.
Makin mendekati jalan Kaliurang, jalan semakin padat. Manusia, motor, mobil, sepeda, anjing, ultraman, megaloman, godzilla, ok cukup, semakin lama semakin banyak. Motor saya pun hanya bisa berjalan dengan gigi 2. Saat tiba di ujung jalan Seturan, tepat di pintu masuk Ring Road utara, saya melihat seorang polisi sibuk berteriak dengan megafon. Polisi yang satu lagi memegang karton besar dengan tulisan:
TIDAK ADA TSUNAMI.
HARAP JANGAN PANIK.
SILAKAN KEMBALI KE RUMAH.
Heh? Jadi semua hanya HOAX? Eh waktu itu istilah hoax belum populer. Jadi semua itu hanya ISU? Saya bertanya lagi pada pak polisi untuk memastikan, maklum saya bintangnya Virgo, gak langsung yakin kalo belum konfirmasi langsung.
“Pak, saya bintangnya Virgo.”
“Oh iya dek, ada apa?”
“Saya mau konfirmasi pak, beneran gak ada tsunami?”
“Iya itu cuma isu. Silakan kembali ke rumah dek.”
“Bapak yakin?”
“Yakin.”
“Tolong liat mata saya dong pak, saya gak suka kalo lawan bicara saya matanya gak ngeliat ke saya.”
“Oh maaf dek bapak khilaf. Iya gak ada tsunami, bohong, hoax, tenang aja.”
“Pak, tahun 2006 kan istilah hoax belum populer?”
“Oh iya maaf, khilaf lagi. Pulang aja dek, aman.”
“#okesip pak.”
“Eh dek dek!
“Ya pak?”
“Itu tadi kamu kok ngomongnya pake hestek? Kan twitter belum populer?”
“Oh iya maaf pak saya kelepasan. Mari pak.”
“Yuuk.”
“…”
Saya segera menepi lalu turun dari motor. Si mas pemain bola terlihat bingung, tapi sudah lebih tenang karena diyakinkan pak polisi kalo tidak ada tsunami. Saya menawarkan untuk mengantarnya kembali ke hotel, tapi dia menolak.
“Gak apa-apa mas, makasih banget. Saya biar di sini aja dulu, nanti kalo udah tenang saya telepon official saya. Saya mau gabung sama mereka aja.”
Seketika saya merasa seperti manajer klub bola yang ditolak oleh pemain yang diincar untuk dibeli.
“Ok mas kalo gitu, saya mau balik ke kampus. Aman ya mas?
“Aman mas. Terima kasih ya.”
“Sama-sama mas.”
Saya kembali ke kampus. Gempa besar baru saja terjadi. Setelah ini akan ada gempa-gempa susulan sehingga semuanya harus waspada. Selain itu banyak korban bencana yang butuh penanganan. Mapala saya sempat terlibat saat penanganan bencana di Aceh, dan sudah seharusnya ketika di rumah sendiri terjadi bencana, kami harus turun tangan mengerahkan segala sumber daya yang ada.
Saatnya bekerja.
Untuk Jogja, rumah kita sendiri.
(Bersambung)
Tolong tatap mata saya…eh comment saya….
Ini masih bersambung? Padahal udah tertawa kepingkal-pingkal nyangka bli yang nebeng motor itu sesuatu…hahhaa…
Lanjutken kawan :-D
LikeLike
nantikan seri 3!
hahahahaha
LikeLike
hahaha, itu om2 yang ba bonceng itu ehhh…
lagi dibayangkan suasana saat itu bagaimana, panik pastinya tohh. tapi setelah itu, apalagi kalo diingat2 lagi, ada yg lucu juga kang
LikeLike
manangis2 le bukang cuma panik ahahahaha
LikeLike
duh, berharap ada cerita yang lebih menyentuh hati, malah ceritanya begini.. hahahaha..
LikeLike
Kata rosa genrenya komedi tragedi hahaha..
Belum sampe di bagian sedih njar, tunggu ya di episode berikutnya :D
LikeLike