Gempa Jogja 2006 (3): Nyasar Ke Srandakan

Saya tiba lagi di kampus. Sudah ada beberapa anak mapala yang juga baru kembali dari lari pagi dikejar tsunami yang saling berbagi cerita. Salah satu kawan bahkan sudah hampir sampai Kaliurang, bego banget ya? Kan gak mungkin Jogja kena tsunami setinggi itu. Hih.

Gempa menyebabkan signal handphone menghilang, listrik mati, dan hanya ada 2 stasiun radio yang hidup. Saya bahkan belum sempat mengabari orang tua, pasti mereka kuatir karena saat ini berita di TV sedang heboh-hebohnya. Dari berita radio kami mengetahui kalo episentrum gempa berada di daerah selatan, dan kerusakannya yang paling parah adalah di Bantul. Katanya sebagian besar bangunan di sana telah rata dengan tanah!

Gempa-gempa susulan masih terjadi, tapi tidak sekeras yang pertama. Yang paling keras hanya mampu menggoyang-goyang bus kampus kami, dari luar kelihatan seperti ada suting Mike’s Apartment di dalam sana.

Menjelang siang akhirnya signal handphone kembali aktif. Saya langsung mengabari keluarga saya yang ternyata sedang berurai air mata sambil nonton berita. :’)

Sebuah SMS dari SARDA DIY masuk ke handphone saya. “Harap segera datang ke kantor SARDA. Bawa potensi sebanyak mungkin beserta peralatan evakuasi.” Ok. Saya tahu peralatan evakuasi untuk goa, tebing, sungai, dan gunung. Untuk gempa, sepertinya kita lebih butuh sekop dan alat berat daripada tali dan carabiner. Tapi namanya juga instruksi, akhirnya alat-alat rescue tebing dan goa dibawa juga.

Saya pulang, lalu mandi. Saat lagi sabunan, tiba-tiba gempa susulan datang. Mau lari, badan penuh sabun. Gak lari, ngeri juga kalo ketimpa plafon. Akhirnya saya mengambil keputusan maha penting: melanjutkan mandi sambil ngaca. Kalo memang saya akan tertimpa atap lalu mati, maka saya mati dalam keadaan bersih, dan hal terakhir yang saya lihat adalah wajah ganteng ini.

Tidak, gempa susulan itu tidak meruntuhkan kamar saya.

Setelah mengenakan seragam mapala, saya langsung meluncur ke kantor SARDA bersama kawan-kawan lainnya di jalan Malioboro. Di sana sudah terkumpul banyak orang, sebagian besar anak mapala se-Jogja. Semua berwajah kusam, mungkin belum pada mandi. Iyuh.

Menurut berita, jumlah korban meninggal sudah hampir mencapai 2.000 orang. Yang luka-luka tidak terhitung. Yang terjebak di dalam reruntuhan bangunan pun sangat banyak. Sesudah pembagian kelompok dan briefing singkat mengenai teknis evakuasi, kami berangkat. Tim saya mendapat jatah ke Srandakan menggunakan bus Kopata yang disewa SARDA.

Sepanjang jalan, makin ke selatan, pemandangan semakin mengerikan. Rumah-rumah runtuh, rata dengan tanah. Orang-orang sibuk membongkar reruntuhan, entah menyelamatkan harta benda atau nyawa seseorang. Korban-korban gempa terlihat diangkut menggunakan motor dan mobil pickup, berpapasan dengan bus kami. Darah di mana-mana. Saya bertanya pada koordinator regu dari SARDA,

“Gimana kalo kita turun sini aja? Ini keliatan butuh bantuan banget.”
“Jangan, di sini udah ada regu yang nanganin. Kita harus ke Srandakan sesuai instruksi.”

Kampret. Jelas-jelas keliatan orang-orang itu butuh dibantu, ini malah sok-sokan instruksi segala. Tapi berhubung gak ada juga yang pengen turun disitu, akhirnya bus terus melaju menuju Srandakan. Dan ternyata tidak seorang pun di dalam bus tahu Srandakan itu ada dimana.

Rescuing my ass.

Gedung BPK

IMGP3464

Akhirnya si koordinator sibuk menelpon markas SARDA, nanya jalan. Pak supir bus juga beberapa kali berenti buat nanya jalan. Ini bisa-bisa kita nyasar sampe Jakarta. Horeee main ke ibukota!

Hampir sejam kami di bus hingga akhirnya bertemu dengan kantor polsek Srandakan. Si koordinator yang mengenakan seragam orange bertuliskan SAR, lengkap dengan kacamata hitam dan HT berantena panjang kayak joran, turun dari bus dengan gagah. Angin menerpa wajahnya, melambai-lambaikan rambut keritingnya yang panjang. Senyum kecil tersungging di bibirnya, seolah berkata, “Srandakan, jangan menangis lagi. Aku datang untukmu.”
Pak polisi menyambutnya.

“Selamat pagi pak.”
“Pagi dek.”
“Kami dari tim SARDA DIY pak, mau bantu untuk evakuasi korban gempa. Di sini butuh evakuasi di daerah mana ya pak?”
“Ooo di sini ndak butuh evakuasi dek, kerusakannya ndak parah, korbannya juga dikit. Semua udah ditangani.”
“Serius pak?”
“Lah ya iya, kamu ndak liat kumis saya apa? Saya serius. Coba liat sekeliling. Gak parah kok.”

Benar. Rumah-rumah sekeliling masih berdiri dengan rapi. Tidak ada orang-orang yang panik. Tidak terlihat ada korban. Bahkan tidak terasa kalo di sini baru saja gempa besar.

“Di sini gempanya ndak terlalu gede dek. Mungkin sebaiknya ke daerah Pundong. Denger-denger di sana parah sekali dan masih butuh evakuasi.”

Nah, pelajaran pertama dalam tanggap bencana adalah: Cek & Ricek. Kalo belum ada data dari tim assessment, sebaiknya jangan sok tahu. Mending go-show. Jalan dan turun di tempat yang sekiranya butuh tindakan cepat.

“Pundong itu lewat mana ya pak?”
“Dari sini cari aja jalan Parangtritis dek. Nanti kalo udah ketemu, nanya orang aja arah ke Pundong lewat mana. Saya juga ndak tahu persis je..”
“Ok makasih ya pak..”

Bus kami langsung meluncur ke Pundong sambil sesekali berhenti nanya arah. Ya, tim penyelamat ini gak punya peta apalagi GPS. Kira-kira 45 menit kemudian kami kami tiba di lokasi. Hampir tidak ada rumah yang utuh, semuanya hancur berantakan. Rupanya gempa di sini sangat keras, bahkan bangunan baru pun hancur total. Begitu turun dari bus kami disambut penduduk. Ada dialog lagi yang agak absurd.

Korlap : “Pak, kami dari SARDA mau bantu evakuasi, masih ada yang belum dievakuasi di sini pak?”
Penduduk : “Sebentar sebentar.. Anda dari mana, ada keperluan apa, dan mau ngapain disini?”

Wah parah juga bapak ini…

“Kita dari SARDA DIY pak, mau bantu evakuasi kalo masih ada penduduk yang tertimpa rumah..”
“Ooo kalo evakuasi sudah dari tadi mas, tapi kalo pengen nyari masih ada satu yang hilang. Coba aja dicari.”

Hanjrit. Warganya masih kurang satu tapi mereka keliatan santai.

Dipandu penduduk, tim rescue bergerak ke rumah yang diduga masih ada korban yang terjebak. Tim medis laris manis, maklum banyak warga yang luka-luka dan belum ditangani. Saya ikut tim medis, karena saya pesimis tim rescue bertangan kosong itu mampu berbuat sesuatu. Ini yang mau dibongkar runtuhan rumah, percuma kalo gak bawa alat tukang.

Tim rescue yang berjumlah sekitar 20 orang itu tiba di rumah yang kini tinggal puing-puing dan segera bergerak mencari, menggali, mengangkat reruntuhan, dan melakukan apa saja untuk menemukan korban. Keringat mulai bertetesan. Satu demi satu personil berjatuhan, tau-tau udah duduk di pinggir jalan sambil ngerokok dan pura-pura sibuk ngobrol lewat HT. Akhirnya, setelah hampir setengah jam mencari, tim menyerah. Pendekar-pendekar tangan kosong ini harus rela mengakui kalo yang dibutuhkan bukan orang lagi, tapi alat berat.

Sementara itu, tim medis bermodal kotak P3K menghampiri penduduk yang masih berlumuran darah. Ada yang patah tulang, ada yang luka sobek, ada yang luka ringan, ada juga yang sakit maag. Saat sedang membagi-bagikan plester, seorang bapak dengan luka sobek lumayan panjang menghampiri kami.

“Mas tolong jahit saya mas.”

Bused. Muka saya mirip mesin bordir kali. Pengen jawab, “Bapak mau dijahit pola apa pak?”

“Tapi pak, saya belum pernah jahit orang..”
“Ndak apa-apa mas, yang penting dijahit daripada darahnya ndak berenti ini mas.”
“Tapi pak, kita gak punya suntik bius.”
“Ndak apa-apa mas, aku kuat.”
“……………”

Si bapak ciee pasti sudah sering disuckity ya pak.. *puk-puk*

Kalo soal menjahit pakai tangan saya mahir. Jangankan jahit standar, jahit kristik juga saya bisa. Baju saya yang robek sering saya jahit sendiri. Sempak bolong juga dijahit sendiri. Bahkan waktu disunat, titit saya saya jahit sendiri. Kecil ini mah.

Luka si bapak kami bersihkan dulu pake alkohol. Teriak-teriak dia. Lalu proses menjahit dimulai. Benang telah menyatu dengan jarum.

Jahitan pertama, jarum menembus kulit. Si bapak menjerit.
Jahitan kedua, darah mulai mengucur. Si bapak histeris.
Jahitan ketiga, si bapak melolong. Rasakan. Ternyata jarum lebih menyakiti daripada pengkhianatan.

Kami melanjutkan penanganan korban hingga jam 7 malam. 1 orang penduduk yang diduga tertimpa reruntuhan sudah ditemukan dalam keadaan selamat dan tidak kurang suatu apa pun. Ternyata kemarin malam doski pergi mancing, dan gak bisa langsung pulang gara-gara ban motornya kempes. Dia gak tau kalo dicariin orang sekampung.

Setelah berpamitan, kami pulang ke markas. Sepanjang jalan suasana masih mencekam. Listrik padam, sirene ambulans terdengar meraung-raung, dan mobil polisi lalu lalang. Gempa-gempa susulan kadang masih terasa.

Ada pemandangan menyedihkan saat melewati Rumah Sakit Bantul. Saking banyaknya pasien, sebagian harus rela tidur di parkiran RS hingga jalan raya beralaskan tikar. Botol-botol infus digantung berjejer menggunakan tali rafia seperti jemuran baju, di bawahnya berbaring para korban dengan kondisi menyedihkan. Sebagian besar lansia. Dan langit terlihat mendung…

Malam itu, usai melaporkan kegiatan pada komandan SARDA dan melakukan evaluasi hari pertama, kami kembali ke kampus. Saya merebahkan diri di teras masjid, memikirkan nasib korban yang harus tidur tanpa atap malam ini.

Lalu hujan pun turun dengan derasnya…

(Bersambung)

  1. Hujan turun dan masih bersambung…hening… *menghayati

    Like

    Reply

  2. udah mulai serius…. dikit.

    Like

    Reply

  3. mas…tolong jahit..
    edan..haha..

    Like

    Reply

  4. ini sambungannya belom yak?? *jangan2 ntr ujung2nya ada si kolong ijo*

    Like

    Reply

  5. selain jadi relawan cocok juga jadi pelawak :D

    Like

    Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: