Hari 2
Kalo pengen kulineran di Manado, enaknya di mana? Jawabannya: “Wakeke.” Wakeke adalah nama kawasan khusus wisata kuliner di area pusat kota, tempat paling tepat untuk sarapan atau makan siang ala Manado. Nasi kuning, pisang goreng, perkedel jagung, perkedel nike, dan tentunya: Tinutuan.
Tinutuan itu nama lokal untuk bubur Manado. Entah siapa yang pertama kali menyebutnya bubur Manado, karena tidak ada orang asli Manado yang menyebut tinutuan dengan nama itu. Mereka malah lebih suka menyingkatnya menjadi “tinu” saja.
Di Minahasa Selatan, salah satu kabupaten tetangganya Manado, tinutuan dikenal juga dengan nama peda’al. Biasanya saat pesan tinutuan penjualnya suka nanya, “tinutuan atau midal?” Waktu pertama kali mendapat pertanyaan itu, saya merasa sedang ditawari mie yang dicampur kadal. Ternyata, midal adalah tinutuan yang dicampur mie, singkatan dari “mie peda’al.”
Saya lebih suka tinutuan original, dimakan bareng sambal roa plus perkedel nike goreng, sejenis ikan kecil sebesar 1 cm yang hidup di daerah muara sungai.

Tinutuan

Kurang lengkap kalo makan tinutuan tanpa dua perkedel ajaib ini: perkedel jagung dan perkedel nike!

Ada satu rumah makan yang katanya “paling senior” dan tinutuannya paling enak se-Wakeke. Tuh yang sebelah kanan jalan, namanya RM Syully.
Lihaga!
Setelah sarapan, kami langsung jalan ke arah Likupang, ke pulau Lihaga. Yap, Lihaga mendadak jadi salah satu tujuan kami yang sebelumnya tidak direncanakan sama sekali.
Saya pertama kali mendengar nama Lihaga sekitar 5 tahun yang lalu. Kata teman saya, pasir pantainya sehalus tepung! Saya tanya, tepung apa? Dia dengan yakin menjawab, tepung maizena.
Entah kenapa dia memilih maizena sebagai pembanding. Kenapa tidak memilih tepung lain yang lebih terkenal, misalnya tepung tang mien.
Untuk ke pulau Lihaga dibutuhkan 1,5 jam bermobil dari pusat kota Manado, lalu 30 menit menyeberang laut naik perahu motor kecil dari pelabuhan Likupang. Harga carter perahunya 600 ribu PP, tapi dengan sedikit nego bisa turun sampe 400 ribu kok. Karena kami berempat, jadi perahu motor kecil sudah cukup. Yang lebih besar dengan kapasitas lebih dari 20 orang harganya diatas sejuta.

Pelabuhan Likupang
Motoris kami ini namanya Opo’. Dia orang, bukan smartphone. Opo’ sehari-hari bekerja sebagai salah satu perangkat desa Likupang Dua. Dia bercerita banyak tentang pengunjung pulau Lihaga yang makin hari makin ramai. Dia juga mengaku pernah mengantar rombongan artis yang mau menyelam.
“Kenal artis siapa?” tanya saya.
“Kurang tau siapa, tapi cantik-cantik.”
Cantik = artis.
15 menit setelah melaut, saya melihat sebuah pulau besar dekat pulau Lihaga yang ada pitak-pitaknya di beberapa bagian. Alat-alat berat juga terlihat sedang beraktivitas di sana.
“Itu pulau Bangka,” kata Opo’.
Ada dua pulau Bangka di Indonesia. Yang pertama terkenal karena timahnya, sedangkan yang kedua terkenal karena kasus tambang bijih besinya. Ini adalah pulau Bangka yang kedua, pulau kecil seluas 3.000-an hektar lebih yang akan dieksploitasi oleh perusahaan tambang asal Tiongkok. Lucunya, ijin perusahaan ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, tapi kegiatan mereka tetap berlangsung seperti biasa.
“Nda mungkin mo distop depe kegiatan. Sebagian warga sana so mendukung, so dapa doi, kong pemerintah le jadi backing. Biar Slank mo demo le.” (Nggak mungkin kegiatannya distop. Sebagian warga di sana udah mendukung, udah dapet duit, terus pemerintah juga jadi backing perusahaan. Biar didemo Slank juga percuma.)
Kalo yang jagain pemerintah sih, jangankan Slank, didemo Metallica juga gak ngaruh.
“Pernah ada yang diving di dekat pulau Bangka, diusir petugas keamanan tambang.”
Bused. Udah kayak Pol-Air.
“Yaah kami warga di sini mau protes juga susah, mau protes ke siapa? Sebagian warga yang dulu menolak sekarang malah balik mendukung. Bisa-bisa jadi konflik di desa.”
Saya memandang lagi pulau Bangka dari perahu. Saya cukup tahu tentang permainan mereka saat masih jadi PNS dulu. Memang berat. Butuh gerakan massif dan nonstop untuk melawannya. Dan melawan bukan berarti jaminan akan menang. Huft.
***
30 menit setelah meninggalkan pelabuhan Likupang, perahu akhirnya merapat di pulau Lihaga. Saya melompat turun untuk membuktikan teori tepung maizena. Beneran loh! Pasirnya alus banget kayak tepung.

Lihagaaa :D
Pulau Lihaga dikelola oleh warga lokal. Belum ada campur tangan pemerintah di sana. Mereka mengelolanya dengan tertib dan disiplin. Buktinya begitu kaki menginjak pantai, kami langsung disuruh registrasi dan membayar retribusi pulau sebesar 25 ribu. Saya tidak keberatan sih, karena ngurus pulau juga butuh duit. Belum ngurus anak istri. Belum buat beli batu akik. Tapi gak apa-apa lah, daripada masuk ke kantong preman berseragam.
Kami menghabiskan waktu selama 2 jam lebih, dan menjadi rombongan yang kembali ke pelabuhan paling akhir. Sebenarnya pengen nunggu sunset, tapi takut kemalaman dan nyasar di laut atau nabrak karang. Pernah kejadian soalnya.
Oya, kalo mau ke sini sebaiknya pagi-pagi sudah jalan dari Manado. Jangan kayak kita. Jam 11 siang baru start x))
[Bersambung lagi]
Next: Bunaken Yang Makin Mahal
Pantainya bersih dan berenang-able. Cuma kalau so kesorean arusnya jadi cukup kuat, salah2 ngana pe bodi keseret. Sebenernya bisa juga nyebrang dari desa yg lebih jauh dari Likupang tapi jalanan ke sana rusak berat. Kelebihannya, ya sailingnya cuma sebentar, paling 15 menit sedang kalau dari Likupang aekitar 45 menit
LikeLike
Aih infonya makin lengkap, makasih tambahan detailnya kak :D
LikeLike
Cantik = artis. Untung kita2 gak cantik ya kak. Jado gak ribet diliatin orang. Iyeeeh tapi diliatin gara2 atraksi2 headstand. Taro lah kaaak foto2 kita ituuu yg sdg akrobatik…
LikeLike
Bentar kak lg diedit lg hahahaha..
Aku gak cantik dong kak?
Ah…
LikeLike
ya ampun bubur manadonya menggugah selera :-)
LikeLike
jangan dilihat lama-lama kak :p
LikeLike
Hi salam kenal. Orang Bandung yg netep di Holland… Tulisanya mantep!!!
LikeLike