Tiga tahun lalu, saat menyelam di Bunaken, saya bertemu dengan down current gila di dive point Lekuan. Saking kenceng arusnya, kami harus memasang reef hook pada karang agar tidak terdorong ke bawah, lalu menggembungkan BCD maksimal biar bisa naik dengan dorongan kicking kuat-kuat.
Dua tahun lalu, di Alor, saya kembali bertemu arus super kenceng saat menyelam di dive point Pantar. Ikan-ikan terlihat beterbangan, soft coral seakan hendak tercerabut dengan akarnya, dan kami mati-matian bertahan hingga ngos-ngosan biar tidak terlempar jauh dari titik muncul.
(((TITIK MUNCUL)))
Dan sekarang, saya akan menyelam di tempat yang memang terkenal berarus: Penateung point.
“Abang pernah naik loler kostel kan?”
“Loler kostel?”
“Iya yang kereta laju naik turun meliuk-liuk itu bang,” terang dive guide saya.
“Ooh, iya pernah. Kenapa?”
“Kayak gitu bang rasanya. Arus di sini kencang, kalo nggak bisa ngelawan nanti kebawa arus ke laut biru sana,” katanya sambil menunjuk langit.
Saya melihat ke langit. Mungkin maksudnya surga.
“Kencang banget?”
“Iya bang, apalagi ini mau bulan purnama. Arusnya paling kuat kalo bulan purnama.”
“Wah serem juga ya.”
“Iya bang.”
Saya merasakan jantung saya mulai deg-degan nggak yakin.
“Hati-hati aja bang.”
Kampret.
“Hehehe,” katanya lagi sambil tersenyum licik.
Gak usah diving aja kali ya. Duh salah waktu nih, kenapa juga harus ada purnama segala. Mana gelombangnya makin tinggi pulak. Glek.
Kapal kami terus melaju sambil terombang-ambing diterpa gelombang yang mulai meninggi. Saya memandang tugu 0 kilometer yang terlihat di kejauhan.
“Itu tugu 0 kilometer bang. Besok main-main ke sana, atau nanti sore. Rugi udah jauh-jauh ke sini trus nggak poto di 0 kilometer bang.”
Saya hanya menjawab dalam hati, kemudian berbaring di atap kapal, mencoba menenangkan diri sambil menghayal apa yang kira-kira akan terjadi seandainya saya terbawa arus lalu terdampar di pulau tanpa penghuni.
Nanti saya bikin gubuk kecil beratap daun kelapa. Tempat tidurnya dari anyaman kulit rotan. Setiap hari makan ikan bakar. Lalu saya akan berkebun, menanam bawang dan cabe biar bisa bikin ikan bakar rica. Mandinya di pantai, bilasnya di air terjun belakang gubuk. Nonton sunset dari puncak pulau. Seru.
Kapan nikahnya coba.
***
Laju kapal perlahan berkurang. Salah satu guide menepuk bahu saya. “Gear up bang.”
Saya bangun lalu turun ke bawah, mengenakan wet suite dan menyiapkan peralatan dan tabung saya. Beberapa tamu lain sudah siap dari tadi. Dive master kami melakukan briefing sekaligus menjelaskan karakteristik dive point ini.
“Kita bagi tiga kelompok ya, setiap kelompok 3 tamu dan 1 guide. Ini namanya Penateung point, arusnya sering berubah arah, jadi tetap dekat dengan guide masing-masing. Fokus dan enjoy aja.”
“Bang Regy,”
“Ya?”
“Nanti buddy sama saya, kita berdua aja.”
“Okay sip.”
“Negative entry ya bang.”
“Siap.”
Tiga kelompok tadi satu demi satu menceburkan diri lalu langsung menghilang ke kedalaman. Saya dan guide saya nyemplung paling belakang. Saya meludahi masker saya, membilasnya dengan air laut, lalu mengenakannya.
“Kita berdua aja nih?” tanya saya sesaat sebelum nyebur.
“Iya bang, biar romantis kita,” jawabnya lalu langsung melompat ke laut.
Idih.
“Ayo bang, aku tunggu di bawah!” Lalu dia pun menghilang.
Saya menyusulnya dengan negative entry. Tau gak?
Begitu nyemplung, saya disambut dengan up-current. Arus mendorong saya dari bawah, menahan saya untuk tenggelam.
Ya Alloh.
Saya memposisikan kepala saya di bawah, lalu kicking sekuat tenaga biar bisa tenggelam. Gila, tenggelam aja butuh effort gede. Pelan-pelan saya mulai menambah kedalaman hingga akhirnya tiba di dasar, 16 meter underwater.
Entry point ini berpasir. Saya berusaha sedekat mungkin dengan dasar laut untuk menghindari arus yang mulai mendorong dari samping kanan.
Guide saya memberi kode untuk mengikutinya. Doski bergerak perlahan ke arah kanan, melawan arus menuju gugusan bebatuan raksasa yang mulai terlihat. Visibility saat itu cukup buruk memang. Tapi begitu jarak saya dengan si batu-batu raksasa semakin dekat, saya bisa melihatnya dengan jelas.
KEREN!
Tidak ada lambaian soft coral warna-warni. Tidak ada schooling fish. Tidak ada objek-objek macro yang aneh. Yang ada hanya bebatuan besar yang misterius dan mengintimidasi, seolah-olah berbicara,
“Gue batu, apa lo!”
Batu-batu ini, konon, adalah hasil dari aktivitas vulkanik jaman dahulu kala. Di Penateung, batuan ini menjulang-julang tinggi, bentuknya terlihat jelas karena tutupan karang yang minim. Beberapa kali tubuh saya terdorong arus dan menghantam batu. Beberapa kali kami harus berhenti untuk berpegangan ketika arus super kencang datang, entah dari depan, samping, atau belakang.
Kepungan arus ini luar biasa bikin pusing dan nyesel. Saya harus fokus menjaga buoyancy, melawan arus, ngikutin pergerakan guide saya, sekaligus melihat-lihat sekeliling. Karena upaya yang terlalu besar itu, baru 20-an menit udara yang tersisa di tabung saya tinggal 50 bar hahahaha..
Saya memberi kode kepada guide saya.
Aku mau naik, bentar lagi keabisan nafas. Nanti mati.
Dia membalas kode saya.
Okay, kita safety stop di depan.
Kami muncul ke permukaan, jauuuuh sekali dari kapal. Gelombang semakin tinggi. Kapal bergerak mendekati kami, lalu tiba. Lalu kami naik. Lalu saya kaget karena semua orang sudah ada di atas kapal.
Semua ngos-ngosan. Semua bercerita tentang arus. Salah satu bule bertanya pada saya.
“The current was crazy huh?”
“Yeah, it was like loler kostel,” jawab saya.
“Hah?”
Saya kembali ke atap kapal, berbaring, dan membayangkan seandainya saya terdampar di pulau tak berpenghuni…
Jadi spot ini untuk main arus? 🙀
Spot ini untuk lihat batu vulkanik ya?
LikeLike
Yoi Mun, arusnya main banget 😀
Ada dive point yg aernya anget jg katanya, gw blm sampe situ kemarin.
Btw akhirnya gw nemu juga blog pribadi elo yaa hahaa!
LikeLike
Hahaha seru banget baca kisah di bagian ini. Baru bacanya aja saya udah langsung merasa jiper :-D
Jadi ingat waktu nyelam di Bunaken sempat merasakan arus yang sama, untungnya kami menyelam searah dengan arusnya, jadi gak perlu kicking sudah hanyut sendiri. Cuma apesnya pas tiba-tiba buddy saya nunjuk sesuatu di belakang dan harus balik ke arah dia. Duh, itu rasanya kaya apa aja, kicking gak maju-maju :-D
Ditunggu kisah selanjutnya yaaa :-)
LikeLike
kapan di ekspos tentang diving di bali kawan
LikeLike