[Solo Hiking Kerinci – Part 2] Son Goku

Expectation:

06.00 WIB – Bangun pagi, cuci muka, gosok gigi
06.15 WIB – Sarapan, ngopi, ngeteh. Ngopi aja deng. Tapi teh juga enak. Teh deh.
06.45 WIB – Ke pasar, belanja logistik.
07.15 WIB – Pamit sama Mak Jus, naik ojek ke Pos R10 untuk registrasi.
07.30 WIB – Mulai jalan dari Pintu Rimba.
11.00 WIB – Nyampe Shelter 1, makan siang + leha-leha.
12.00 WIB – Lanjut jalan ke Shelter 2.
15.00 WIB – Nyampe Shelter 2, leha-leha bentar.
15.30 WIB – Lanjut jalan ke Shelter 3.
17.00 WIB – Nyampe Shelter 3, ngecamp. Nyantai!

Reality:

Bangun jam 7 lewat, ngulet-ngulet dulu, dan baru benar-benar bangun jam 8 pas! Trus, pura-pura kaget dan menyesali kebiasaan saya yang suka molor.

Gak lah, ngapain nyesel, liburan ini.

Seorang gadis kecil menatap saya dengan heran dari balik pintu dapur. Jangan-jangan dia juga mengira saya setan.

“Mak Jus ya?” tanya saya.
“Bukan mas. Mak Jus itu ibu aku,” katanya, lalu kabur.

Ya iya lah.

Saya ke dapur untuk menemui Mak Jus. Mak Jus sedang duduk bersila di atas dipan kayu yang beralas tikar sambil memisahkan cabe dari tangkainya.

“Assalamualaikum, Mak.”
“Waalaikumsalam. Dari mana mas?”
“Dari tidur di depan Mak.”
“Ya iya Mak tau, maksudnya asalnya dari mana?”
“Oo, saya Regy Mak, dari Manado hehe..” jawab saya sambil menyalami tangannya.
“WAH JAUH BETUL! Ke sini sama siapa, Daeng Regy?”
“Mak…”
“Ya?”
“Daeng itu dari Makassar..”
“Oh iya hahaha…”
“Hahaha…”

*kemudian awkward moment*

“Saya sendirian Mak.”
“Lhoo kok, ndak sama teman? Biasanya orang ke sini rame-rame, sama teman-temannya,  berlima berenam, ada juga yang sama istrinya, sama keluarganya.”
“Saya masih sendiri Mak, belum berkeluarga.”
“Wah padahal dari wajahnya keliatan seperti sudah tua ya..”

*Krik*

Mak Jus senang bercerita. Mungkin saya adalah orang ke seribu sembilan ratus sembilan puluh satu yang diceritakan tentang bagaimana beliau bisa ada di desa Kayu Aro, kenapa beliau membuka rumahnya sebagai basecamp untuk tempat singgah pendaki sejak tahun 2011, gratis, dan cerita tentang anak-anaknya. Saya mendengarkan dengan antusias sambil sarapan nasi plus kering tempe buatannya.

“Anak Mak yang laki biasanya suka jadi guide, jadi porter, diajak ke Semeru sudah pernah, diajak ke gunung-gunung di Jawa sudah pernah,” tuturnya.

“Waktu di Semeru, pernah sampe sebulan nggak pulang-pulang. Akhirnya tak suruh balik, tak telpon tiap hari.”
“Kenapa Mak, kangen ya?”
“Bukan, di sini kan banyak kerjaan, biar bantuin Mak juga.”
“Oh haha kirain kangen.”
“Nggak lah… Nggak..”
“Masak sih Mak?”
“Ya, kangen juga sih…”

*kami kembali terdiam cukup lama*

“Mak, saya bungkus nasinya buat makan siang ya!”
“Silakan mas.”
“Sama tempenya juga.”
“Nggih, monggo.”
“Sama ayamnya juga.”
“Iya mas ambil aja.”
“Sama kentangnya juga.”
“SEMUANYA AJA MAS!”

Mak Jus ini aslinya dari Jawa, tapi lahir dan besarnya di desa Kayu Aro. Orang tua beliau adalah transmigran sejak puluhan tahun yang lalu, jadi, bagi Mak Jus, Kayu Aro lah kampung halamannya tercinta.

Sulit memang untuk tidak jatuh cinta dengan desa ini. Pemandangannya, suasananya, dan warganya sungguh namaste semuanya. Andai bisa menikah dengan desa…

***

Saya merapikan packingan lagi setelah belanja di pasar. Belanjanya cuma segenggam cabe doang sih seharga lima ribu perak, sisanya beli aqua botol besar 4 biji dan indomie 6 bungkus. Gak mungkin belanja macam-macam, masak nasi aja gak pernah berhasil.

Pasar keliling. Pasar ini setiap hari berpindah tempat dari desa ke desa di Kabupaten Kerinci. Jadwal untuk desa Kayu Aro adalah setiap hari Sabtu.

Setelah ransel saya terpacking sempurna, saya menimbangnya pake timbangan gantung kecil dan hampir pingsan melihat angkanya: 23 kg. Ditambah tas kecil isi kamera, gorilla pod, parang, dan payung, mungkin totalnya 25 kg lebih. Saya sempat berpikir untuk meninggalkan beras saya, toh juga belum tentu bakal jadi nasi. Tapi, nanti indomie saya gak ada temannya, kasian.

Dari basecamp Mak Jus, saya naik ojek ke Pos R10 untuk registrasi, lalu lanjut ke pintu rimba. Biaya registrasinya Rp 7.500 dan dapet kantong sampah besar. “Nanti sampahnya dibawa pulang ya mas,” jerit petugas pos.

Pos R10 Kerinci

The famous Pintu Rimba!

Jam 10.30 WIB saya mulai jalan dari pintu rimba, molor 3 jam dari rencana awal. Pintu rimba ini benar-benar layak dibilang pintu rimba, karena ladang dan kebun warga berbatasan langsung dengannya. Begitu melewati pintu rimba, kita benar-benar langsung masuk hutan, lebat, dan ada harimaunya.

Dari informasi yang saya baca, kalo naik gunung sendirian di Kerinci, sebaiknya pakai topeng. Bukan, bukan dipake di muka, tapi dipakein ke ransel. Kenapa? Karena harimau biasanya menyerang dari belakang. Jadi, untuk mengecohnya, ransel dipakein topeng biar si harimau gak nyergap kita dari belakang.

Sebenarnya ini percuma.

Ya namanya disergap harimau, mau dari depan atau belakang, EMANGNYA BISA NGELAWAN GITU? Tetep aja dimakan.

Tapi namanya saran, saya ikuti saja. Paling tidak, saya berhadapan dengan harimaunya dan kita bisa saling kenal dulu. Saya juga jadinya tau kalo saya benar-benar dimakan harimau, bukan dimakan setan.

♫ ♪ Orang pun datang, dan akan kembali, kehidupan kan jadi satuu  ♫ ♪

Next: [Solo Hiking Kerinci – Part 3] Pintu Rimba

  1. Bang, ngga coba kompetisi stand up comedy? Saya ngakak terus baca tulisannya. Salut juga ke Kerinci sendirian. Ditunggu lanjutannya.

    Like

    Reply

    1. Mau stand up once again aja masih susah apalagi mau stand up comedy bang #curhat x))
      Siap! Makasih sudah singgah 😁

      Like

      Reply

  2. […] Next: [Solo Hiking Kerinci – Part 2] Son Goku […]

    Like

    Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: