Saya terbangun setelah terguncang-guncang dengan keras. Pesawat kami akhirnya mendarat juga di bandar udara Internasional Hazrat Shahjalal di Dhaka, Bangladesh. Landingnya tidak semulus Citilink, rasanya kayak lewat barisan polisi tidur sebelum pintu tol. But hey, at least we survived.
Begitu pesawat mendarat, ada yang langsung buka seat belt. Ada handphone yang langsung bunyi. Dan ketika pesawat berhenti, hampir semuanya langsung berdiri trus ngambil bagasi kabinnya masing-masing. Berasa familiar?
Kami menanti sesaat sampai pesawat mulai kosong, baru kemudian menyusul turun. Udara di Dhaka ternyata tidak dingin seperti di Kathmandu, rasanya malah kayak di Jakarta. Gerah dan lembap. Kami mengikuti rombongan penumpang di depan kami menuju pintu masuk kedatangan internasional.
01.00 Local Time
Bandara Dhaka, setidaknya dari tempat kami masuk, kelihatan sangat modern. Bandara ini adalah bandara terbesar di Bangladesh yang luas areanya lebih dari 800 hektar dan mampu melayani 18 juta penumpang setiap tahunnya. Sayangnya kami tidak punya waktu lagi untuk keliling-keliling bandara atau bersilaturahmi dengan warga negara Bangladesh, karena kami langsung digiring menuju gate keberangkatan internasional.
KUALA LUMPUR! KUALA LUMPUR THIS WAY!” seru seorang petugas bandara yang berdiri di tengah koridor antara area kedatangan dan area menuju pengambilan bagasi. Loh, pesawatnya masih ada?
Kami diarahkan menuju gate keberangkatan ke Kuala Lumpur. Rombongan di depan kami sudah tidak ada lagi, mungkin sudah keluar dan hanya kami yang akan melanjutkan penerbangan malam itu. Di depan, seperti biasa, berdiri beberapa petugas security bandara di samping mesin x-ray. Saya masuk lebih dulu.
Saya hanya membawa tas kecil berisi kamera, paspor, dompet, powerbank, handphone, dan buku. Tas saya meluncur melewati mesin x-ray, dan diambil oleh petugas keamanan.
“Open it,” katanya.
Saya membuka tas saya, kemudian saya diminta mengeluarkan seluruh isinya. Satu demi satu barang saya diperiksa pak petugas, dan karena tidak ada yang mencurigakan, dimasukkan lagi ke dalam tas. “Okay next!”
Yang lainnya melewati mesin x-ray plus petugas dengan lancar, kecuali, siapa lagi kalo bukan Harry.
Setelah orangnya digeledah, tas Harry, yang ukurannya lumayan besar, diperiksa. Semua barang dikeluarkan dari dalam tas. Isinya macam-macam. Pak petugas mengambil kotak plastik yang biasa dipakai untuk menaruh handphone dan ikat pinggang, lalu mulai memisahkan barang-barang Harry yang menurutnya tidak boleh masuk bagasi kabin. Saya melihatnya dengan kuatir, sudah cukup banyak masalah yang kami hadapi di Kathmandu, jangan sampai si petugas nyari-nyari masalah lagi di sini.
Ya gimana gak mikir kayak gitu, dia menggeledah tanpa alasan jelas. Udah gitu, semua barang Harry dijamah, eh maaf, that sounds so wrong. Semua milik Harry dipegang, ah, itu juga terdengar aneh. Ok, setiap barang yang ada di dalam tas Harry dikeluarkan, dipegang, diamati, dan ditanya itu apa.
Waktu lagi mengeluarkan barang-barang Harry, ada satu benda yang SEHARUSNYA MENGUNDANG KECURIGAAN DAN BISA BIKIN MASALAH BESAR: seuntai bendera kertas seperti prayer flag, tapi yang ini bergambar DAUN GANJA. Saya melihat kejadian itu dengan gugup, karena walau pun misalnya Harry gak bawa cimeng, ya tetep aja bendera itu bisa dikembangkan menjadi masalah baru. Tapi reaksi petugasnya juga biasa aja, cuma dilihat, trus dibalikin lagi ke tas hahaha.. Fiuh..
Lalu, dari semua barang yang diperiksa, ada 3 yang akhirnya dipisahkan:
- Singing bowl
- Lens ball
- Gelas minum enamel
Setelah itu perdebatan pun dimulai. Singing bowl dianggap sebagai “sacred item,” dilarang masuk kabin. Lens ball? Dianggap sebagai sacred item juga, mungkin dikira alat untuk meramal. Nah yang paling koplak, gelas enamel. SEJAK KAPAN GELAS UNTUK MINUM KOPI JADI BENDA KERAMAT? Dan berdebat dengan mereka sama susahnya seperti di Kathmandu, pokoknya gak boleh, tanpa alasan yang jelas.
Lilian dan Andin sudah duduk di lantai. Yendi dan Arta berdiri termangu. Ada seratus lebih pasang mata penumpang lain yang mengerumuni kami, kepo. Mereka menonton kejadian itu kayak nonton tukang jual obat kuat.
Oh ya, mereka itu penumpang yang mau ke Kuala Lumpur juga, dan gara-gara pesawat kami delay di Kathmandu, penerbangan mereka ternyata ikut delay. Harusnya berangkat jam 7 malam, sampai saat itu masih belum ada kejelasan jadi berangkat atau nggak.
Di tengah perdebatan antara Harry dan petugas keamanan, datanglah seorang officer dari Biman Airlines. Dia berusaha membantu agar tidak ada barang kami yang disita, tapi upayanya juga buntu. “I have called my manager, he will come here and he will talk to the security,” katanya kepada kami.
Aha! Ada peluang baru untuk menanyakan tiket kami yang hangus kepada pak manajer. Kami langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta kejelasan tentang status tiket kami ke Jakarta yang akan hangus. “Okay, i will tell my manager about it. He will come here in a moment,” jawab dia. Lalu dia kembali ke balik mejanya, dan langsung dikerumuni penumpang lain. Lalu perdebatan antara dia dan penumpang lain itu dimulai. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya ya tentang kejelasan jadi berangkat atau tidak malam itu. Ricuh lah pokoknya.
01.45 Local Time
Tiba-tiba ada pengumuman, pesawat menuju Kuala Lumpur sudah siap diberangkatkan! Barang-barang sitaan, berkat bantuan pak manajer, akhirnya dikembalikan tepat sebelum kami berangkat. “What about our ticket to Jakarta?” tanya saya sebelum berjalan keluar dari gate itu. “Boarding now, i’m sorry, we can’t help you,” jawab si petugas. Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tanpa bisa berbuat apa-apa lagi.
08.00 Local Time
Kami tiba di Kuala Lumpur. Pesawat ke Jakarta sudah berangkat. Saya akhirnya membeli tiket baru, dan kami tiba di Jakarta sore itu juga.
***
Well, menggunakan dua maskapai yang berbeda, walau pun jadwal keberangkatannya tampak aman, sebaiknya jangan dilakukan. Sampai saat ini saya belum mendapatkan jawaban dari Biman selain email mereka yang meminta maaf atas kejadian itu, tapi tidak ada kompensasi apa pun yang diberikan kecuali Dal Bhat di restoran hotel Radisson Kathmandu.
Begitulah drama kami dengan Biman Bangsatdesh. Saya sih tidak akan merekomendasikannya kepada siapa pun. Pelayanannya terhadap penumpang kalah jauh dengan maskapai NKRI. Dan setidaknya, kalo ada apa-apa, maskapai kita takut dengan netijen, hahaha…
