UPPER VIEW POINT, 4100 MDPL.

In Frame: Sujan. Foto: Diana (IG @kebobunting)
Kami menghabiskan waktu hampir satu jam untuk menikmati euforia puncak. Tidak ada grup lain saat itu. Puncak Machapuchare tampak sangat dekat, menjulang tinggi dengan gagahnya. Saya menatap ke arahnya dengan takjub.
Machapuchare, yang dalam bahasa Nepal berarti “fish tail,” adalah salah satu gunung di jajaran pegunungan Himalaya yang belum pernah didaki hingga puncak oleh siapa pun. Ketinggiannya 6993 mdpl. Satu-satunya catatan pendakian gunung ini adalah di tahun 1957 ketika ekspedisi dari Inggris yang dipimpin Kolonel Roberts berhasil mencapai hingga ketinggian 6947 mdpl. Mereka tidak menyelesaikan pendakiannya hingga puncak, sesuai dengan janjinya kepada pemerintah Nepal saat itu.
Ada perdebatan mengenai status “sakral” gunung ini, however. Machapuchare sesungguhnya tidak memiliki cerita rakyat, sejarah, bahkan nama lokal seperti Everest dengan nama lokal Chomolungma (Tibet) atau Sagarmatha (Nepal). Nama Machapuchare diterjemahkan dari “Fish Tail” karena bentuknya yang menyerupai ekor ikan. Masyarakat yang tinggal mengelilingi Machapuchare hanya menyebutnya sebagai “Kling” atau “Salju” dalam bahasa Gurung.
Tidak ada catatan yang jelas juga mengenai hubungan antara Machapuchare yang selama ini diasosiasikan dengan Dewa Siwa, karena mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitarnya bukan beragama Hindu. Menurut Dr. Harka Gurung, seorang antropologis Nepal, salah satu teori yang membuat Machapuchare dilarang untuk didaki adalah justru karena kegagalan ekspedisi Kolonel Roberts mencapai puncaknya.
Tiga tahun setelah ekspedisi itu, 1960, Kolonel Roberts menjabat sebagai atase militer kedutaan besar Inggris di Kathmandu. Di tahun 1965, pemerintah Nepal secara resmi mengeluarkan larangan pendakian ke puncak Machapuchare. Larangan ini bisa jadi dipengaruhi oleh Kolonel Roberts, agar tidak ada orang lain yang akan pernah mencapai puncak Machapuchare setelah kegagalannya (yang mungkin saat itu disebabkan oleh badai salju, bukan karena terlanjur berjanji kepada pemerintah Nepal).
***
Saya bersimpuh di depan untaian bendera-bendera doa yang berkibar-kibar ditiup angin. Tiga hari perjalanan sudah kami lalui dengan lancar, dengan baik, dan tanpa kendala kecuali boker tengah malam. Terima kasih Annapurna. Terima kasih Himalaya. Terima kasih karena telah mengizinkan kami tiba di tempat ini, selamat, lengkap, dan lega. Kecuali Binbin yang lagi nahan pup, dia terlihat cemas.
Sujan, Agnes, dan Binbin akhirnya turun lebih dulu. Saya dan Diana turun belakangan. Kami mengambil beberapa footage video dulu dan nongkrong-nongkrong sebentar menikmati kemegahan Himalaya pagi itu. 15 menit kemudian kami menyusul mereka. Dingin banget.
PAT MORITA
Angin bertiup semakin kencang. Dari selatan, kumpulan awan dan kabut tebal bergerak perlahan ke arah kami. Langit yang sebelumnya biru cerah mulai tertutup sepenuhnya, berganti menjadi kelabu. Diana membetulkan posisi cramponnya, lalu berjalan pelan kembali ke High Camp. Saya mengikutinya dari belakang.
Perjalanan turun tidak lebih mudah daripada naik. Es yang mulai mencair dan trek yang curam membuat kami harus melangkah dengan sangat hati-hati. Sisi kiri trek adalah jurang yang cukup terjal, jika tergelincir, resikonya jatuh ke dasar lembah sejauh ratusan meter di bawah sana.
Sebuah helikopter terbang rendah dari sisi lembah sebelah kanan kami, lalu mendarat beberapa puluh meter di belakang saya dan Diana. Kami agak heran, karena dia mendarat bukan di heli-pad. Memang tidak ada heli-pad sih di sana, makanya kami heran. Kalian heran juga ndak? Heran lah.
“Wah ini pasti sobat kaya!” seru kami berdua sambil merekam heli yang sedang mendarat di area sempit itu. Naik heli untuk ke ABC atau Mardi Himal memang mahal, US$ 1.800 per tripnya.
Bukan sobat kaya yang keluar, tapi malah Santos yang baik banget, pemilik lodge tempat kami menginap di High Camp yang disertai dua orang lain, salah satunya membawa sekop. Mereka berlari ke arah kami.
“Santos? Where are you going?” sambut saya. “Hi Regy,” katanya sambil terus lari. Dia sempat menyapa dan memeluk Diana lalu lari lagi.
Shit man, peluk-lari.
Helikopter tadi sudah lepas landas lagi. Santos dan dua kawannya berlari menuruni lereng salju yang sangat curam. Kami berdua terbengong-bengong. “GILAK LOH MEREKA LARI LIAT!” jerit Diana heboh.
Tentu saja aksi mereka membuat kami terpukau. Lereng itu curam. Memakai crampon saja kami masih kesulitan menuruninya karena licin sekali, ini si bangsat bertiga cuma pake kets dan lari gak pake ngerem.
Tidak sampai 2 menit kemudian mereka hilang dari pandangan kami.
“Mereka mau ngapain ya Gy?” tanya Diana.
“Nggak tau..”
“Kita pelan-pelan aja yuk..”
“Okay.”
Setelah bersusah payah turun dan sempat meluncur kencang di atas es akibat tergelincir, saya dan Diana tiba di bagian paling berbahaya pada trek Mardi Himal. Jalannya sempit, hanya cukup untuk satu orang, licin, dan super terjal. Binbin, Agnes, dan Sujan berdiri menunggu kami di sana.

Binbin, Agnes, dan Sujan yang sedang menunggu kami
Kami berhasil melewati bagian berbahaya itu, lalu bertanya pada Binbin, “Kenapa Bin? Kok ngumpul di sini?”
Dengan suara bergetar, Binbin menjawab, “Bapak-bapak Jepang yang foto bareng kita tadi barusan jatuh di sini..” Ya Tuhan, batin saya. Jurang itu sangat curam dan tertutup salju.
“Yang mana ‘Bin? Pat Morita?” tanya saya lagi.
“Iya..”
Tenggorokan saya mendadak terasa kering. “Terus?”
“Kata Santos udah meninggal…”
Tangis Diana pecah seketika. Agnes dan Binbin tidak bisa menyembunyikan wajah sedih sekaligus kalutnya. Sujan tertunduk.
“Santos mana?” tanya saya.
“Mereka udah lari lagi ke High Camp. Tadi turun ke jurang di bawah sana trus udah berhasil nemu lokasi mayatnya..”
Kata-kata Binbin memenuhi isi kepala saya. Meninggal. Mayat. Jatuh. Ingatan saya berputar kembali ke hari kemarin, ketika kami bertemu Pat Morita pertama kali. Kemudian ke malamnya, melihat mereka memotret bintang dengan penuh semangat meski suhu udara saat itu di bawah nol. Lalu tadi pagi, ketika mereka turun dari View Point dengan gembira sambil menenteng kameranya dan kami saling menyapa.
Saya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar. Semuanya terjadi begitu cepat.
Kami melanjutkan perjalanan turun dalam suasana yang sangat berbeda. Suasana berduka.
***
Tiba di High Camp, kami langsung masuk ke dining room. Di sana sudah ada teman-teman almarhum dan guidenya, juga trekker lain yang tidak bisa menyembunyikan wajah sedih mereka. Binbin langsung keluar lagi lalu masuk ke dalam kamar kami. Saya menyusulnya. Di kamar, Binbin menangis tersedu-sedu. Saya hanya bisa merangkulnya.
***
Dining room terasa sendu. Perapian yang menyala di tengah ruangan tidak mampu mengembalikan kehangatan suasana seperti hari sebelumnya. Guide tim Jepang duduk di dekat perapian, tertunduk lesu dengan wajah yang amat sedih. Dia adalah seorang sherpa sekaligus guide profesional yang sudah belasan tahun menjalani profesinya. Orang-orang lodge terus berkomunikasi melalui radio HT dengan team SAR di Pokhara untuk proses evakuasi. Di pojok ruangan, dua orang sedang mengepak jaket dan makanan ke dalam tas mereka.
“Sujan, mereka mau ke mana?” tanya saya.
“Mereka mau ke lokasi mayatnya, mau jagain,” jawab dia.
“Hah? Jagain gimana? Bukannya mau dievakuasi?”
“Kata polisi mayatnya belum boleh dipindahkan dari tempatnya sebelum polisi datang. Polisinya minta dijaga sampe mereka tiba.”
“What?? Jadi mayatnya masih harus menginap semalaman di sana? Nggak boleh kita bawa ke sini saja?”
“Iya, kalo nggak diikutin maunya, nanti kita yang disalahkan.”
“Dan dua orang ini bakal duduk semalam suntuk di tengah salju sana?”
“Yes.”
Wow. Saya sebelumnya sudah makan siang buru-buru agar bisa ikut membantu evakuasi, karena dalam pikiran saya, jenazahnya paling tidak dipindahkan ke lodge dulu, berkumpul lagi dengan teman-temannya. Lagi pula, jumlah kami saat itu cukup banyak. Orang lodge dan beberapa trekker pasti mampu membawanya kembali ke High Camp. Ternyata prosedur di sini berbeda.
Salah satu dari tiga bapak Jepang itu mendatangi Diana. Dia membawa secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat email. Dengan bahasa inggris yang kaku dan dicampur dengan isyarat tangan, bapak itu meminta Diana untuk mengirimkan foto terakhir almarhum bersama mereka di Upper View Point beberapa jam sebelumnya. Mereka memang melakukan selfie menggunakan kamera Diana.
“Sure, i will send all the pictures to you,” jawab Diana sambil tersenyum lemah.
“Thank you, thank you, arigatou,” kata si bapak Jepang, membungkuk.
Kami balas membungkuk dan menyampaikan duka cita kami, dan mendoakan mereka agar tetap kuat. Mereka terlihat berusaha tegar.
“Somehow,” kata Diana, “Gue rasa dia meninggal dengan bahagia.” Saya mengangguk, pelan. “Dia meninggal saat sedang melakukan hal yang dia senangi, di Himalaya, bareng teman-temannya,” sambung Diana lagi.
“Di,” jawab saya. “Andai bisa memilih, gue juga akan memilih meninggal seperti itu. Di gunung yang gue cintai.”
***
Dari balik jendela dining room, kabut semakin tebal menutupi langit. Salju terus turun tanpa henti. Suasana semakin sendu.

Mr. Najasawa, yang kami juluki Pat Morita, berfoto bersama sambil mengangkat kedua tangannya dengan gembira. Ini adalah foto terakhirnya.
[…] Bersambung ke Bagian Kedua~ […]
LikeLike