“The sunrise is beautiful from here, but you gotta wake up early at least before 5 AM because the sunrise is at 5.30 in the morning,” kata Ngima, owner hostel kami. “You need to hike to Tenzing Norgay Memorial to get the best view, it’s just 10 to 15 minutes walk. It’s near, not more than 500 meters from here,” sambungnya lagi.
“Kamu aja lah, aku bukan penggemar sunrise,” timpal Rahman. Njir timpal, kayak di buku cerita jaman SD.
Dia sebenarnya sih males aja. Dasar sobat rebahan. Padahal, bangun pagi saat sedang traveling itu banyak manfaatnya. Bisa dapet foto bagus, bisa lihat aktivitas orang-orang memulai hari, dan suasana sepi di pagi hari sebelum terang itu damai sekali. Saya menyetel alarm saya ke jam 5 subuh, lalu tidur. Sunrise di Himalaya terlalu berharga untuk dilewatkan.
***
Jam 6.15 saya bangun, nengok ke jendela, oh sunrisenya sudah lewat, lalu tidur lagi.

Bye sunrise…
Jam 6.30 saya beranjak dari tempat tidur, mengenakan jaket dan sepatu, lalu keluar dari hostel. Ngapain lagi coba ini, sunrisenya udah lewat. Bego banget.
Ngima tau-tau nongol dari dalam ruang makan sambil bawa sapu. “You still here? You missed the sunrise?” Wajahnya tampak bingung.
“Yeah, i’m not a sunrise person anyway,” jawab saya. Dia tertawa ngenyek.
Karena sudah terlanjur bangun, ya sudah akhirnya saya tetap jalan pagi itu. Gak apa-apa lah sunrisenya gak dapet, saya pengen lihat Tenzing Memorial-nya saja. “Lewat sini kan ‘Ngim?” tanya saya pada Ngima. “Yes, just follow the stairs, you will reach the memorial in 15 minutes.”
Jam 6.45 saya mulai jalan. Tangganya gak pake basa-basi, langsung nanjak dan bikin ngos-ngosan karena oksigen yang mulai menipis. Di Namche saturasi oksigen saya turun ke 78%, Rahman bahkan 70%. Normalnya, saturasi oksigen atau kandungan oksigen dalam darah itu 95-100%. Semalam waktu diukur pake oximeter yang saya bawa, level kami sudah di angka yang cukup rawan. FYI, saturasi oksigen di bawah 90% itu adalah saturasi oksigennya orang yang sudah membutuhkan alat bantu pernapasan. Agar tubuh bisa beradaptasi dengan kadar oksigen yang rendah di ketinggian, maka dibutuhkan aklimatisasi.
Hike high, sleep low.
Orang biasanya menginap dua malam di Namche, dan menggunakan hari kedua untuk melakukan aklimatisasi dengan prinsip itu. Kami akan mendaki ke ketinggian 3800 meter lalu kembali ke Namche dan menginap satu malam lagi. Rute aklimatisasinya adalah naik ke Everest View Hotel, kemudian turun melewati desa Khumjung. Biasanya rute ini diselesaikan dalam waktu 4 jam saja, dan itulah yang akan kami lakukan jam 9 nanti. Jadi abis dari Tenzing Memorial, saya akan turun lagi, sarapan, terus jalan lagi untuk aklimatisasi bareng Rahman.
Serombongan Yak yang dipimpin penggembalanya berpapasan dengan saya. Gembala Yak ini galak-galak banget sama Yak-Yaknya. Mereka bawa cambuk sambil teriak-teriak demi mengarahkan Yak yang jalannya suka random. Kadang Yak-nya ditendangin di pantat, kadang ya dicambuk. Saya prihatin sih, tapi maklum juga soalnya si Yak suka keluar jalur tiba-tiba untuk makan semak di pinggir jalan. Bayangin harus narik atau ngedorong hewan yang beratnya ratusan kilo itu, apalagi kalo mereka sudah bersama sejak 5 kilometer yang lalu.
30 menit setelah jalan tidak ada tanda-tanda patungnya Tenzing Norgay yang jadi “main attraction” di area Tenzing Memorial. 1 jam kemudian saya tiba di puncak bukit kecil yang banyak prayer flagnya. Kampret, memorialnya mana? Saya bertanya ke salah satu trekker dari Jepang yang sedang istirahat di tempat itu.
“Kon’nichiwa” sapa saya sambil tersenyum ramah.
“Aaaa kon’nichiwa,” jawab mereka tidak kalah ramah.
“Do you know where Tenzing Memorial is?”
“Tenzing Memorial? The one with the statue?”
“Yes, Tenzing statue.”
“Ooow wrong route, you should turn right down there,” katanya sambil menunjuk ke kejauhan, kira-kira di tempat saya lewat 45 menit yang lalu.
“NANIIII?”
“HAHAHAHAHAHA…”
Udah jalan jauh-jauh, nanjak pulak, eh salah jalan. Huft…

Pagi-pagi nyasar ke sini

Namche Bazaar
Setelah menghabiskan sebatang rokok, akhirnya saya turun lagi ke hostel dan tidak meneruskan pencarian patung Tenzing. Males.
“Did you found the memorial?” tanya Ngima saat saya tiba.
“No.”
“Why?”
“Wrong turn.”
“HAHAHAHAHAHA…”
“I need coffee and a toast, with eggs.”
“Hahahahaha okay hahahahaha…”
Saya bergabung dengan Rahman dan Agata yang lagi sarapan. “Mending tidur kan, dul?” ejek Rahman. Agata juga ikut-ikutan ngetawain. Oya, Agata ini trekker cewek dari Polandia. Grupnya dia lagi otw ke EBC, dan mungkin saat itu sudah sampe Lobuche. Agata nggak ikut karena capek dan pengen leyeh-leyeh di Namche saja. Sudah 4 hari dia tinggal di hostelnya Ngima. “I know the best bakery here, and i know where to get the best Yak cheese in Namche,” katanya bangga. Kami lalu sepakat untuk ke toko roti terbaik se-Namche itu nanti setelah turun dari aklimatisasi.
Selesai sarapan, kami mulai jalan. Jalurnya sama persis dengan jalur saya pagi tadi, dan 45 menit kemudian kami tiba di bukit yang sama. Dari situ, kami lanjut lagi kurang lebih sejam hingga akhirnya tiba di Everest View Hotel, spot terbaik untuk melihat Everest, Lhotse, dan Ama Dablam. Walaupun kita jalan di jalur trekking ke Everest Base Camp, tapi Everestnya gak akan selalu terlihat. Hanya ada tiga tempat dimana dia nampak cukup jelas: di sini, di Tengboche, dan di puncak Kala Patthar. Selain itu ya gak kelihatan. Dari Base Camp saja hanya terlihat seuprit.

Jalur aklimatisasi ke Everest View

Everest, Lhotse, dan Ama Dablam
Kami menghabiskan waktu setengah jam di area Everest View, paling tidak hingga tubuh mulai beradaptasi dengan ketinggian 3800 meter, lalu turun melalui desa Khumjung. Pengaruh kebudayaan Tibet sangat kuat di jalur EBC. Prayer wheel, prayer flag, dan mani stone ada dimana-mana. Berbeda dengan jalur Annapurna yang lebih “Nepali,” simbol-simbol spritual khas Tibetnya gak begitu banyak.
Turun dari aklimatisasi, kami mampir ke toko roti yang kata Agata enak itu. “The coffee is also good, you’re gonna like it!”
Saya memesan cafe latte dan dua buah roti. Eh roti kan bukan buah.
Saya memesan cafe latte dan dua roti roti. Yang satu isinya cream vanila, satu lagi roti coklat. Setelah mencobanya, well, enak sih emang. Tapi kalo ini saja bisa bikin Agata berseri-seri sambil makan roti, saya yakin dia akan orgasme saat makan Roti Eneng-nya Diana.
Kalo malam sebelumnya saturasi oksigen saya di bawah 80%, setelah aklimatisasi di hari kedua saturasi oksigen saya naik lagi ke 87%. Kami jadi bisa tidur lebih nyaman karena ngos-ngosannya sudah berkurang. Malam itu saya masuk sleeping bag jam 9 tepat. Besok perjalanan akan lumayan berat: ke Tengboche.

Namche at night

Saturasi oksigennya naik lagi ke 87%