Saya dan Rahman meninggalkan Namche dan Agata jam 9 pagi setelah sarapan. Target kami di hari keempat adalah desa Tengboche di ketinggian 3800 meter. Kami merasa lebih segar pagi itu setelah melakukan aklimatisasi kemarin. Dampaknya signifikan. Kami jadi lebih leluasa istirahat sambil sebats.
Jalur dari Namche ke Tengboche secara garis besar terbagi tiga. Bagian pertama flat dan panjang, bagian kedua turunan jauh, dan bagian ketiga tanjakan sadis. Bagian pertama tentu saja sangat menyenangkan. Desa berikutnya yang kami lewati adalah Kyangjuma, 3600 meter, masih berada di bagian pertama yang flat dan tidak melelahkan. Desa ini jauh lebih kecil dari Namche, tapi tetap saja ada lodge kece dan teahouse mayan gede. Kami berhenti untuk sebat sambil liat orang lalu lalang.

Jalur flat yang kami cintai

Desa Kyangjuma
Setelah Kyangjuma, trek masih flat hingga akhirnya kami bertemu rangkaian tangga menurun yang ujungnya nggak keliatan. Di kejauhan terdengar suara sungai. Saya agak kuatir dengan tangga turun, karena cedera lutut saya belum sembuh betul setelah sebulan yang lalu kambuh di jalur Argopuro. Saya turun perlahan dengan posisi kaki yang selalu lurus, karena turun sambil salto akan terlalu menarik perhatian.
Ribuan anak tangga yang seolah tanpa akhir itu akhirnya berhasil kami lewati, berujung di desa Punki Thenga, tempat kami berhenti untuk makan siang. Saya memesan mie rebus bertelor dan teh manis. Tempat kami makan benar-benar berada di ujung desa, persis sebelum jembatan menuju ke seberang bukit, tempat ribuan anak tangga selanjutnya menanti kami. Bedanya, kalo yang tadi turun, yang di seberang itu naik. Setiap kali turun, akan selalu ada tanjakan yang menanti. Rahman menghela nafas panjang.

Indomie dengan kearifan Nepal, porsinya jumbo!

Jembatan di Portse Thanga yang menjadi penanda berakhirnya turunan panjang, berganti dengan tanjakan afghan
Satu jam setengah kami habiskan untuk makan sekaligus mengumpulkan tenaga. “How far is Tengboche from here?” tanya saya ke mas-mas pemilik teahouse tempat kami makan. “It’s not far sir,” katanya. “Not more than three hours. You will be in Tengboche before sunset, it’s really beautiful up there. You can see Everest if you’re lucky.” Saya menatapnya dengan penuh curiga. Hmmm, ini pasti bakal jadi lebih dari empat jam…
Kami memanggul ransel kami lagi. Setelah melewati jembatan, kami bertemu dengan ribuan tangga yang tak terlihat ujungnya juga. Udah gitu, belum sejam nanjak, kami disalip seorang trail runner dari Spanyol dalam sekejap. SAMBIL LARI. “Bangsat,” gerutu Rahman, “Ini nafas hampir putus, kaki udah lemes, dia santai banget lari-lari lewatin kita.” Ya iyalah, dia bangun pagi langsung push-up, kita bangun pagi langsung sebat.
Dalam sekejap, si pelari hilang dari pandangan kami.

Pura-pura noleh ke belakang biar gak keliatan capenya
*** Empat jam kemudian ***
Jalur trekking sudah sepi sejak setengah jam yang lalu, hanya ada kami berdua dan kadang-kadang kuda. Suhu udara mulai bergerak turun lebih cepat bersama dengan matahari yang semakin menghilang. Langit yang tadinya berwarna keemasan kini berganti merah keunguan, tanda malam akan segera tiba. Kami mempercepat langkah agar tiba di lodge sebelum gelap, karena kalau sudah gelap, ya nggak apa-apa juga sih.
Di kejauhan terlihat untaian bendera doa yang berkibar-kibar, terikat di puncak stupa besar berwarna putih bersih. Di bawahnya ada barisan prayer wheel melingkari stupa itu. Saya mengenali seseorang yang sedang sibuk memotret sunset di dekat stupa. Mas-mas pelari! Dia sudah ganti baju, sudah jaketan, pake kupluk, dan terlihat sudah tiba dua jam lebih cepat dari kami.
“Hi,” sapa saya saat tiba di dekatnya.
“Hi, so late dude,” katanya.
“Yeah, we walk slowly, enjoying the view, the moment, kapan lagi?” jawab saya.
“Hahaha, good reason man.”
Saya yakin ketawanya ketawa ngenyek dalam bahasa spanyol.
***
Kami tiba di Tengboche hampir jam 6 sore, empat jam lebih dari tempat kami makan siang tadi. Angin bertiup pelan. Dari dalam monastery terdengar suara lonceng dibunyikan beberapa kali, mungkin penanda maghrib. Meskipun desa ini kecil, tapi Tengboche adalah desa yang penting bagi umat buddha. Monastery Tengboche adalah salah satu monastery terbesar di Nepal. Kami segera masuk lodge yang toiletnya terlihat bersih, ganti baju, dan memesan makan malam. Di latar belakang desa, tiga puncak Himalaya berkilau merah. Lhotse, Everest, dan Ama Dablam.