Everest Base Camp Trekking – Hari 6: Aklimatisasi ke Nangkar Thsang, 5200 meter

Saya membuka ritsleting sleeping bag saya dengan enggan. Kenikmatan tidur pagi itu mau tidak mau harus saya akhiri, karena kami akan melakukan aklimatisasi ke Nangkar Thsang, puncak kecil di barat Dingboche. Kaca jendela kami tertutup embun yang sudah jadi es. Suhu tadi subuh bahkan sepertinya turun melewati angka minus sepuluh, membuat kamar kami terasa seperti kulkas raksasa dan kami sedang cosplay sebagai yakult. Gokil ya orang-orang yang tinggal di ketinggian ini. Mereka kalo punya masalah, pasti selalu selesai dengan baik-baik karena kepalanya dingin.

Saya keluar dari kamar, meninggalkan Rahman yang masih meringkuk dalam selimutnya. Semua penghuni lodge lainnya sudah tidak ada lagi. Kami memang selalu menjadi yang terakhir keluar kamar, namanya juga liburan. Mingma, owner lodge kami, sedang sarapan bersama anaknya yang masih bocah. Saya langsung ke dapur untuk memesan sarapan kepada istrinya, lalu kembali ke ruang makan, mengobrol dengan Mingma.

Nama lengkapnya Mingma Tenjin Sherpa. Tubuhnya atletis, kelihatan anak gunung banget lah. Mingma berwajah campuran Tibet dan Nepal, wajah yang mendominasi area ini. Umurnya belum 30 tahun, tapi, dia sudah muncak Everest 5 kali, Lhotse dua kali, dan Ama Dablam sekali. Sebagian besar dilakukan tanpa support tabung oksigen. Dia menunjukkan foto-fotonya di puncak Everest saat ekspedisi tahun kemarin. “Ming,” kata saya, “Gimana sih rasanya berdiri di titik tertinggi planet Bumi?”

“It was amazing. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” jawabnya.
“Tidak bisa diungkapkan dengan puisi juga?”
“Ah, kalo puisi mah, biar Fiersa Besari saja.”

Mingma adalah seorang Sherpa original. Dia lahir dan dibesarkan di Dingboche, desa kecil tempat suku Sherpa berasal. Mereka memiliki kapasitas paru-paru lebih besar dari manusia pada umumnya, makanya mereka lebih mudah beraklimatisasi di ketinggian ribuan meter dibanding kita, manusia pantai. Semua ekspedisi profesional ke puncak-puncak tertinggi Himalaya membutuhkan Sherpa sebagai support system. Di Everest, mereka adalah orang-orang yang mengangkut tabung oksigen dari basecamp ke camp-camp berikutnya. Mereka selalu bangun lebih pagi dari pendaki lainnya untuk memasang tali pengaman di jalur menuju puncak sekaligus memastikan keamanan jalur pendakian. Mereka adalah jaminan kesuksesan ekspedisi di Himalaya. Bahkan Sir Edmund Hillary, orang pertama yang berhasil mencapai puncak Everest, tidak akan berhasil tanpa dukungan Tenzing Norgay, sang sherpa legendaris itu.

“Dari semua puncak yang sudah pernah kamu daki, mana yang paling susah?” tanya saya lagi.
“Ama Dablam,” jawabnya penuh keyakinan.
“Lebih susah dibanding Everest?”
“Uh, susah man. Lebih technical, walaupun ketinggiannya ‘cuma’ 6800-an meter. Kamu hanya butuh kuat jalan aja untuk ke Everest, tapi Ama Dablam, kamu butuh kemampuan panjat tebing. Bayangkan memanjat tebing batu setinggi itu dengan jaket tebal, peralatan segambreng, dan sepatu yang menggunakan crampon,” katanya sambil menatap keluar jendela. Puncak Ama Dablam terlihat sangat dekat dari ruang makan itu, menjulang tinggi dan menyilaukan. Matahari pagi bersinar tepat di puncak bersaljunya.

Ama Dablam sering disebut sebagai salah satu puncak gunung terindah di dunia. Bentuknya memang cantik, menonjol dengan jelas di antara barisan pegunungan Himalaya. Andai gunung adalah karya seni, maka Ama Dablam adalah mahakarya. Keindahannya dilengkapi dengan tingkat kesulitan yang tinggi untuk bisa menjejak puncaknya. Pada tahun 1961, tim yang dipimpin Sir Edmund Hillary menjadi tim pertama yang mendaki Ama Dablam. Hillary menggambarkan kesulitan pendakian itu sebagai fantastically difficult.

Ama Dablam dalam bahasa Nepali berarti ‘Kalung (Dablam) Ibu (Ama).’ Dinamakan demikian karena glacier di sisi baratnya menyerupai kalung. Kenapa kalung ibu? Karena kalau ‘Kalung Oom’ terdengar aneh.

Mingma Sherpa, 5x Everest summit!

Berbekal sebungkus oreo dan sebotol air minum, saya dan Rahman memulai trekking aklimatisasi kami ke puncak Nangkar Thsang jam 10 pagi. Jalur aklimatisasi ini dimulai dari halaman belakang lodgenya Mingma, dan akan berakhir di puncak kecil berbatu dengan ketinggian 5200 meter dari permukaan laut. Angin kencang mulai bertiup sesaat setelah kami mencapai puncak bukit pertama, 400 meter dari titik start kami. Tengkuk saya berasa kayak dikompres es, padahal matahari bersinar dengan terangnya. Ini adalah tantangan ketika mendaki menjelang musim dingin. Suhu udara memang tidak begitu dingin, tapi angin membuatnya menjadi lebih menusuk.

Setelah mendaki selama satu jam dari lodge, kami tiba di puncak bukit kedua. Di sini terdapat dua stupa kecil yang di pucuknya terikat bendera doa. Puncak bukit ini juga adalah persimpangan untuk menyeberang ke desa Periche di kaki bukit sana. Orang lokal yang melewati tempat ini biasanya menyempatkan diri untuk memutari stupa itu tiga kali sembari menggumamkan doa-doa, lalu melanjutkan perjalanannya.

Tidak ada bonus lagi dari puncak bukit kedua. Jalurnya langsung menanjak non stop. Dalam perjalanan, kami semakin sering berpapasan dengan trekker lain yang sudah selesai melakukan aklimatisasi. Akhirnya, yang tersisa hanya kami berdua, trekker perwakilan NKRI yang suka bangun telat. Eh tapi tunggu dulu. Tidak jauh dari kami, di depan sana terlihat satu orang trekker lagi yang sedang bergerak naik. Bedanya dia lebih lincah, lebih jarang istirahat, dan jaraknya dengan kami semakin lama semakin jauh. Shit.

Tiupan angin yang semakin dingin membuat Rahman memutuskan untuk berhenti 20 menit sebelum puncak. “Kau lanjut aja lah, aku mau tidur siang di sini,” katanya. Detik berikutnya dia sudah menghilang, bersembunyi di balik batu lalu rebahan. Saya meneruskan pendakian, berusaha menahan godaan tidur siang yang tampaknya namaste sekali. Saya akhirnya berpapasan dengan trekker misterius tadi, dia sudah berhasil mencapai puncak. Wajahnya tidak kelihatan karena dia menggunakan masker dan kacamata hitam plus topi. Saya langsung ngeh kalau dia orang Indonesia gara-gara jaketnya Eiger. Akhirnya ketemu juga dengan saudara sebangsa dan setanah air.

“Regy,” kata saya memperkenalkan diri. Dia menjabat tangan saya, “Fani,” namanya.
“Sendirian, bang?” tanya saya.
“Nggak. Tadinya bertiga, bareng istri sama temen satu lagi. Tapi mereka nggak lanjut, anginnya kejam hahaha…”
“Oh gitu, temen saya juga gak lanjut tuh, paling ntar ketemu. Dia lagi tidur di balik batu pinggir jalur.”

Kami janjian untuk bertemu lagi nanti, atau besok, karena mereka tinggal di lodge yang berbeda.

10 menit setelah itu, saya tiba di garis finish: Puncak Nangkar Thsang, 5200 meter. Sebenarnya ini pencapaian yang luar biasa, karena ini adalah titik tertinggi yang pernah saya daki seumur hidup. Ini bahkan lebih tinggi dari puncak Carstensz Pyramid, gunung tertinggi di Indonesia. Penanda di puncaknya hanya tumpukan batu yang dipasangi bendera doa. Dari sini, puncak-puncak lain terlihat lebih jelas. Mulai dari Ama Dablam, Imja Tse, dan Chukhung Ri, berkilau-kilau memantulkan sinar matahari. Saya foto-foto lalu sebat sambil sembunyi di balik batu besar.

Lima menit di puncak, saya langsung turun lagi ke tempat Rahman tidur siang. Karena masih jam 2 siang, kami sepakat melanjutkan tidur selama 30 menit sebelum kembali ke Dingboche.

“Aklimatisasi terbaik itu ya kayak gini emang, tidur siang di ketinggian,” kata Rahman. Saya sepakat.

Rahman, peserta terakhir aklimatisasi LOL

Stupa batu di jalur menuju Nangkar Thsang

View setiap kali nengok ke belakang

Nangkar Thsang, 5200 meter

Rebahan dan sebat adalah jalan ninja kami

Menggiatkan tidur siang dalam rangka menyukseskan program aklimatisasi pak jokowi

  1. Everything is nice and beautiful…

    until you mention Fiersa Besari 😂😂😂

    Liked by 1 person

    Reply

      1. Namanya juga naq gunung, ga bisa ga nyebut FB 😂

        Like

  2. Mas mau nanya, sy IRT umur 35 tahun. Dari dulu suka gunung tp entah kenapa baru skrng semangat buat hiking. Sy blum pernah hiking sebelumnya. Tp skrng sy memutuskan untuk mulai hiking. Cuma, sy penderita saraf terjepit. Penyakit sy ini Dy rasakan setelah operasi Caesar sy d tahun 2012. Mas, kira2 sy masih bisa mulai mendaki atau kegiatan seperti ini hanya lebih membahayakan kesehatan sy?, Terima kasih 🙏

    Like

    Reply

    1. Masih bisa kok, saya sampai sekarang masih naik gunung dan aman2 aja. Yg penting bebannya jangan terlalu berat, posisi badan juga harus dijaga apalagi saat menaik/turunkan ransel, sama cara berjalan diperhatiin. Aman :D

      Like

      Reply

Leave a Reply to Regy Kurniawan Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: