Everest Base Camp Trekking – Hari 7: Thukla Pass, Lobuche, dan Senja di Nuptse

4940 meter.

Kami akan menempuh perjalanan dari ketinggian 4400 meter ke 4900 meter. Dari angkanya terlihat tidak jauh. Dari selisih ketinggian tampaknya tidak begitu menanjak. Tapi, saya sudah yakin bahwa perjalanan hari itu akan panjang dan melelahkan. Kenapa? Karena dari Dingboche, kami harus menyeberangi sungai dulu untuk ke Thukla, kemudian melewati Thukla Pass, setelah itu baru bisa tiba di Lobuche. Menyeberang sungai berarti akan bertemu dengan satu set turunan-tanjakan jahanam.

Jika di hari-hari sebelumnya saya hanya menggunakan jaket windproof, maka sejak dari Dingboche saya sudah harus menggunakan down jacket tebal saya. Suhunya terlalu dingin bahkan dengan matahari yang bersinar terang sekalipun, apalagi angin sudah bertiup kencang sejak pagi. Sejauh mata memandang tidak ada lagi pohon yang tumbuh, hanya beberapa kumpulan semak khas dataran tinggi. Orang sini pasti norak kalo ketemu beringin.

Kami meninggalkan Dingboche jam 8 pagi. Aklimatisasi yang kami lakukan kemarin benar-benar membantu. Tubuh saya lebih segar dan meskipun oksigennya tipis, kami memulai trekking hari itu dengan cukup cepat. Setelah menanjak ke puncak bukit kedua seperti hari sebelumnya, kami tinggal mengikuti jalur flat menyusuri puncak punggungan sejauh 4 jam. Tapi ini bukan flat dalam arti sebenarnya, melainkan ‘Nepali Flat.’ Terlihat datar, padahal aslinya ya naik turun juga. “Nepali flat means a little bit up and a little bit down, my friend,” kata Ngima sebelum kami meninggalkan Namche beberapa hari sebelumnya. “Don’t ever trust Nepali who says the trek is flat,” tutupnya sambil nyengir.

Menjelang tengah hari, kami tiba di pinggir sungai lebar yang airnya mengalir langsung dari kaki Everest. Ini adalah bagian dari Khumbu Glacier yang terkenal itu. Saking dinginnya air sungai, permukaannya tertutup lapisan es tipis. Batu-batu berukuran besar membuat kami cukup kesulitan menyeberanginya. Andai terpeleset di sini lalu tercebur, biji pasti bakal langsung beku tanpa melalui tahapan kisut dulu.

Tepat jam satu siang kami berhasil mencapai Thukla. Hanya ada 3 lodge di sini, karena orang jarang mampir untuk menginap. Saya memesan mie rebus pake telor dan segelas ginger honey lemon tea. Rahman memesan pizza. Seorang guide asal India menyapa saya. “How far is it to Lobuche,” tanya saya. “It’s not far, after you rich Thukla Pass, it’s a flat trek all the way to Lobuche.” Saya tidak memercayainya.

Jam 2 siang kami melanjutkan perjalanan full tanjakan ke Thukla Pass. Tidak jauh, tapi terjal. Saya dan Rahman tiba di puncak Thukla Pass dua jam kemudian. Di sini jalur trekking terbagi dua. Lurus ke arah Everest, kiri ke arah Gokyo Ri. Tadinya kami berencana untuk melanjutkan trekking ke Gokyo setelah turun dari EBC, tapi cuaca dan angin kencang membatalkan rencana itu. Area Rhenja Pass, menurut informasi dari trekker yang kami temui di jalan, terlalu berbahaya untuk dilewati tanpa peralatan yang memadai terutama crampon. Jalur di sana terjal dan tertutup es. Kami tidak membawa crampon.

Area Thukla Pass

Thukla Pass adalah dataran luas yang dikelilingi puncak-puncak gunung es. Di tempat ini tersebar lebih dari 100 memorial pendaki Everest yang kehilangan nyawanya saat ekspedisi, baik yang sedang naik ataupun yang dalam perjalanan turun. Salah satu memorial yang terkenal adalah memorial Babu Chiri Serpa, pemegang rekor summit Everest tercepat (16 jam dan 56 menit) sekaligus rekor berada di puncak Everest selama 21 jam tanpa support oksigen. Dia telah 10 kali berdiri di puncak tertinggi di planet ini. Pada tahun 2001, dalam ekspedisi Everestnya yang ke-11, Babu Chiri terjatuh di crevasse dekat Camp II dan meninggal. Dia menjadi orang ke 168 dari total 306 pendaki yang meninggal di Everest hingga tahun 2019.

Saat itu hanya kami berdua yang berada di sana. Sebagai tempat dengan julukan “A Saddest Point,” suasana sendu memang sangat terasa. Saya mendekat ke salah satu memorial, satu dari sekian banyak yang menarik perhatian saya. Memorialnya sederhana, hanya sebuah batu besar yang di atasnya ditumpuk batu-batu kecil. Bendera doa yang terikat di pucuknya sudah kusam. Sebuah plat besi terpasang di sana. Saya membaca nama yang tertulis di plat besi itu: HRISTO PRODANOV.

Hristo adalah nama yang cukup besar di sejarah kelam Everest. Pada tanggal 20 April 1984, Hristo menjadi orang Bulgaria pertama yang berhasil mencapai puncak Everest. Seakan prestasi itu belum cukup, ia melakukan pendakiannya tanpa support tabung oksigen, dan, sendirian! Yang lebih gila lagi, Hristo mengambil rute barat, rute pendakian Everest yang paling berbahaya. Masih kurang ekstrim? Well, bulan April adalah bulan peralihan dari musim dingin ke musim panas. Cuaca saat itu tidak ideal untuk summit bid, tapi Hristo tetap melakukannya ketika tim-tim ekspedisi lain masih dalam tahap persiapan pendakian di  area Basecamp. Sayang, Hristo tidak berhasil menuntaskan misi utamanya: pulang dalam keadaan selamat. Ia menghilang ketika sedang turun dari puncak keesokan harinya. Tubuhnya tidak pernah ditemukan hingga sekarang.

Jalur trekking menuju Lobuche

Kami meneruskan perjalanan dengan trek cukup datar menuju Lobuche. Tidak ada lagi tanjakan terjal. Kami berjalan di tengah lembah berangin dingin dan akhirnya tiba di Lobuche menjelang jam 5 sore. Dahulu, sebelum desa ini ada, pendaki tidak punya pilihan lain selain meneruskan perjalanannya hingga ke Gorak Shep, desa terakhir sebelum basecamp. Saya bersyukur ada orang yang punya ide mendirikan desa dan lodge di sini. Gorak Shep masih jauh banget.

Lobuche Village

Saya berhenti di depan halaman Oxygen Altitude Lodge. Beberapa trekker tampak sedang menikmati teh panas mereka sembari menyaksikan matahari yang mulai terbenam di balik puncak Nuptse. Saya menarik nafas lega. Aroma dupa yang baru dibakar tercium samar, terbawa angin yang mulai melembut menjelang malam. Saya menurunkan ransel saya, lalu duduk di sebuah batu besar menunggu Rahman yang masih berjalan santai dari kejauhan. Matahari turun semakin rendah, bersembunyi di belakang puncak-puncak gunung es Himalaya. Sinar keemasan mewarnai lereng Nuptse yang memunggungi Everest.

Saya terpukau.

Sore itu, saya menyaksikan salah satu senja yang paling indah dalam hidup saya.

  1. Foto terakhir bikin mewek anjaaayyyyy 🥺🥺🥺

    Tahun lalu melihat stary night di Poon Hill & di Ladakh juga mewek 😭😭😭

    Semoga tahun depan bisa melihat starry night di Everest, AMINNNN 🗻

    Like

    Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: