Tantangan bangun pagi itu makin ke atas makin berat. Dingin, mager, selimut lagi anget-angetnya, ditambah lagi kepala yang mulai sakit akibat kandungan oksigen yang makin tipis membuat bangun berasa kayak disuruh kuliah pagi. Untung cuaca di Lobuche cerah, semua kemalasan tadi hilang seketika begitu kami mulai jalan lagi dengan jaket tebal dan ransel di punggung. Puncak Lobuche dan Nuptse terlihat jelas di depan dan belakang kami. Pumo Ri, puncak berbentuk kerucut di belakang Kalapatthar juga terlihat jelas.
Kami meninggalkan lodge paling akhir seperti biasa. “Gorak Shep is not far from here, you might reach it before lunch,” kata pemilik lodge. Kalo orang lokal bilang sebelum makan siang udah nyampe, itu artinya kami akan nyampe setelah jam makan siang. Ya namanya juga liburan.
Oya, kami menignap di Oxygen Altitude Lodge, tempat yang direkomendasikan banget di TripAdvisor. Bangunannya masih baru, dining roomnya luas dan ada heaternya, terus toiletnya bersih. Yang paling menarik tentu saja kamarnya yang langsung menghadap puncak Nuptse. Kalo makanan, well, menurut saya standar saja. Yang nggak standar ya harganya, makin mahal! Seporsi Dhal Bat di sini hampir seratus ribu rupiah. Bandingkan dengan di Lukla, titik start kami, yang harganya hanya 20 ribu perak.

View dari jendela kamar Oxygen Altitude Lodge, Lobuche
Jalur dari Lobuche menuju menuju Gorak Shep menurut saya adalah bagian tersusah dari trip ini. Awalnya memang masih flat, kami berjalan di lembah, di antara puncak-puncak gunung batu bersalju. Setelah itu jalur berganti dengan, kata Rahman, tambang pasir. Meski tidak sejauh trek di hari-hari sebelumnya, tapi jalannya naik turun dan penuh batu. Jangan berharap bertemu jalan setapak yang mulus dan datar lagi, bagian ini betul-betul menguras tenaga. Ketinggian yang hampir mencapai 5000 meter juga membuat nafas kami semakin pendek.

Nepali flat menuju Gorak Shep

Jalur tambang pasir

Seorang bapak terlihat sedang merenungi nasibnya..
Saya berhenti berkali-kali hanya untuk mengumpulkan oksigen banyak-banyak di paru-paru saya, berjalan lagi beberapa puluh meter, lalu, berhenti lagi. Saat sedang istirahat, seorang trekker dari Inggris tiba dan langsung duduk di samping saya dengan terengah-engah. Namanya Frederik. Umurnya 82 tahun. 82 TAHUN! Gila gak tuh? Dia hanya ditemani seorang guide. “Huft gila banget jalurnya anjir, gua udah gak kehitung berapa kali istirahat,” katanya. Saya yang sedang tercengang hanya bisa bertanya, “Om ngapain sih ke sini udah tau jalurnya berat?” Dia tersenyum, menepuk pundak saya, lalu sambil menunjuk ke arah puncak Everest di kejauhan, dia berkata, “I was there once, long long time ago,” jawabnya. “But i didn’t reach the peak. 100 meters before the peak, storm came up, so i turn back. And here i am. Alive.” Saya semakin ternganga. Setelah kegagalannya itu, dia tidak pernah menginjakkan kaki lagi di Nepal. “Not unitl now,” sambungnya lagi, “I do this just to remember my journey. It’s really different now, the trail, with all this lodges and tourists everywhere. But one thing remains the same.” Apa itu, tanya saya. “That peak. Everest. It’s still tempting, hahaha.. Bloody hell.”
“Go young man. Don’t let me pass you,” usirnya. Saya bersalaman dengannya, lalu melanjutkan perjuangan saya dengan semangat baru. 5 menit kemudian saya berhenti lagi. Frederik dari kejauhan meneriaki saya, “MOVE YOUR ASS YOUNG MAN.” Saya buru-buru mengangkat ransel saya lalu jalan lagi.
Matahari sudah melewati atas kepala ketika kami tiba di Gorak Shep (5164 meter), desa terakhir di jalur trekking EBC. Di sini hanya ada beberapa lodge yang beroperasi, dan biasanya saat musim dingin mereka meninggalkan lodgenya karena kondisi lingkungan yang terlalu ekstrim. Gorak Shep dalam bahasa Nepal berarti Gagak Mati, sesuai dengan kondisinya yang tanpa vegetasi sama sekali. Suhu udara di siang hari bisa turun hingga di bawah 10 derajat celsius, dan di malam hari mencapai -20 derajat.

Welcome to Gorak Shep!
Sebenarnya Gorak Shep lebih tinggi 64 meter dibandingkan desa tertinggi di dunia, La Rinconada di Peru (5100 meter). Hanya saja Gorak Shep bukan permukiman “permanen” karena penduduknya cabs ketika musim dingin, maka gelar desa tertinggi di dunia masih dipegang La Rinconada.
Kami menginap di Himalaya Lodge. Di sini kami bertemu lagi dengan rombongan Indonesia yang papasan dengan kami di Dingboche: Bang Fani, Mba Iyut, Kak Fily. “Sini aja nginepnya ‘Reg, biar ngobrolnya bahasa Indonesia.” Sebuah motivasi yang sungguh berharga buat kami yang lebih banyak diam di lodge gara-gara bahasa Inggris pas-pasan.
Di Gorak Shep sama sekali sudah tidak ada signal telepon. WiFi di lodge mahal, dan lagi gak konek juga internetnya. Ngecharge gadget juga bayar per jam, saya lupa berapa tapi yang jelas lebih mahal dari harga warnet. Untungnya powerbank saya masih cukup buat ngisi semua baterai kamera dan handphone saya.
Sore itu kami habiskan dengan ngopi, leha-leha, lalu ditutup dengan moto sunset.
Besok ke Kalapathar!

Can you spot Everest behind Nuptse?