Saya mengintip dari dalam sleeping bag. Lampu kamar lodge sudah mati, tandanya sudah pagi. Lodge sudah hiruk pikuk dengan orang-orang yang bersiap-siap memulai apa pun aktivitas mereka hari itu. Di sini tidak ada kokok ayam sama sekali, karena ayam di Gorak Shep biasanya sudah dalam bentuk siap masak. Kalo pun ada, saya rasa ayamnya juga mager kali bangun subuh-subuh cuma demi berkokok. Job desc-nya terlalu berat. Cuma demi berkokok bisa kena hypothermia.
Anyway, si Rahman sudah bangun dong. Tumben. Dia sudah berpakaian lengkap, semua bendera dan banner sponsor sudah masuk tas, sedangkan saya masih kucek-kucek mata. “Ayo boi,” katanya, “Kita selesaikan perjalanan kita.” Setan, kemarin diajak ke Kala Patthar malah tidur. Saya ngulet-ngulet sebentar, lalu dengan penuh perjuangan akhirnya keluar dari pelukan sleeping bag saya.
Setelan saya ke Everest Base Camp masih sama seperti kemarin: long john, fleece pants, base layer, down jacket, gaiters, head band (karena saya gak punya kupluk), dan buff untuk menutupi mulut dan hidung. Sempak juga belum ganti btw. Di awal bulan Desember, saat musim dingin masih di ambang pintu, setelan ini sudah cukup hangat. Setidaknya untuk pagi sampai siang hari. Kalau sudah malam, keluar lodge di Gorak Shep saja rasanya kayak dicuekin gebetan. Dingin banget.
09.00 Local time
Jalur seperti tambang pasir kembali terbentang di hadapan kami. Batu-batu kecil hingga besar berserak tak teratur. Jalan setapak kecil yang agak mulus kadang hanya terlihat beberapa belas meter, kemudian berganti lagi dengan jalur batuan. Udara terasa dingin dan kering, juga tipis. Saturasi oksigen dalam darah saya semalam 70%, dan hanya naik menjadi 76% di pagi harinya. FYI, saat orang kena pneumonia lalu mengalami gejala hypoxia atau kekurangan oksigen (dan butuh ventilator), level saturasi oksigennya ya segitu juga. Bedanya adalah itu terjadi dalam waktu singkat, mendadak, sedangkan naik gunung ada waktu lama banget buat aklimatisasi. Makanya aklimatisasi itu penting, sepenting silet. Setajam.
Satu jam pertama jalan, Everest Base Camp belum bakal kelihatan, tertutup gugusan puncak-puncak lain. Kami berjalan di tengah lembah, di atas Khumbu Glacier, diapit puncak Pumo Ri dan Nuptse yang megah. Sesekali terdengar bunyi dentuman yang berasal dari pergerakan balok-balok es raksasa di bawah permukaan. Khumbu Glacier ini memang benar-benar es. Misalnya nih kita naik gunung di daerah tropis, kan di dasar lembah itu sungai, nah.
.
.
.
Nungguin ya?
Nah, Khumbu Glacier ini semacam sungai besar yang membeku, dan aer sungainya jadi es. Jadi kita ini jalan di atas sungai, tapi es. Cuman, namanya es tetep bakal cair kayak bonus tahunan (meskipun cairnya lama). Es yang mencair inilah yang menyebabkan pergerakan di bawah permukaan, dan tabrakan atau gesekan balok-balok es raksasa itu yang menghasilkan bunyi dentuman dari dalam perut bumi. Gak lah kejauhan kalo perut bumi. Amandel bumi doang ini.
Sayangnya pencairan es di Khumbu Glacier semakin hari semakin cepat, berbanding terbalik dengan invoice. Pemicunya? Jangan tanya ke kadrun ya, mereka jawabnya pasti Jokowi. Pemicu betapa cepatnya Khumbu Glacier ini mencair (dan menyusut) adalah Global Warming. Iya, efeknya nyata, dan Himalaya tetep kena dampak walaupun polusi udaranya berasal dari belahan dunia lain. Akan datang masa ketika Everest tidak lagi tertutup es dan salju, tapi tersisa puncak berbatu yang hanya bisa didaki menggunakan metode artificial climbing.
EVEREST BASE CAMP
Hampir 3 jam dari Gorak Shep.
Sekelompok orang sedang berfoto di depan batu besar setinggi Hakeem Olajuwon. Wajah mereka sumringah. Senyum mereka lebar-lebar. Yang pegang kamera gak senyum, karena itu Rahman yang dimintain tolong buat motoin. Di batu itu terpylox tulisan warna merah: EVEREST BASE CAMP.
Jir.
Sejak kapan “terpylox” adalah kosakata.
But yeah, penanda Everest Base Camp yang terkenal ini adalah batu berpylox itu. Karena bukan musim pendakian juga, di basecamp sama sekali tidak ada tenda yang berdiri. Dateng deh di bulan September, gak ada juga sih. Musim ujan cuy. Adanya di bulan Maret ke Mei doang waktu summer, atau Oktober-November pas winter climbing season (tapi jarang ada juga karena success ratenya yang rendah).

Everest Base Camp. Kosong karena bukan musim pendakian.

Tenda-tenda ekspedisi Everest di musim pendakian. (source: NYTimes)
Saya melepaskan ransel saya, menyalakan sebatang rokok, lalu duduk meresapi euforia garis finish ini dalam diam. Di depan saya terpampang puncak-puncak raksasa: Nuptse, Lhotse, dan tentu saja, Everest. Well, Everest hanya terlihat seuprit doang sih, malah lebih jelas kelihatan dari Kala Patthar, bahkan Tengboche!
But still, it’s there. Puncak yang telah menggoda banyak pendaki hingga berani mempertaruhkan nyawanya untuk sekedar berada di sana selama beberapa menit. Hingga saat ini, lebih dari 300 orang telah meninggal dalam perjalanan menuju atau kembali dari ketinggian 8848 meter itu. Puncak yang mahal, bukan hanya karena bertaruh dengan nyawa tapi ya emang mahal man. Trip ke puncak Everest via Nepal butuh paling nggak SATU MILYAR RUPIAH (atau setengahnya jika lewat jalur Tibet).
But still, it’s tempting. Doug Hansen, salah satu korban meninggal dari ekspedisi Everest tahun 1996 yang dijadiin film itu, melakukan 3 pekerjaan sekaligus dalam setahun hanya demi ngumpulin uang buat melakukan pendakian keduanya setelah gagal di tahun sebelumnya. Dia meninggal saat sedang turun dari puncak, dan mayatnya tidak pernah ditemukan sampai saat ini.
But still, i want to go there one day. Berada di titik tertinggi di bumi ini sudah jadi cita-cita saya sejak masih TK.
Berdiri di puncak Everest adalah mimpi saya. Jika tidak terwujud, ya mau gimana man 1 milyar huahaha. Mungkin (mungkiiin) jika kelak saya punya anak, mimpi itu akan saya wariskan. Orang tua saya mimpinya adalah saya menjadi PNS, dan saya berhasil memenuhi cita-cita mereka meskipun hanya selama 2 tahun. Saya telah mewujudkan mimpi mereka, maka dalam hal karma, saya percaya anak saya juga akan mewujudkan mimpi saya.
(Kali kalo gue beneran nanti punya anak dan dia baca tulisan ini, reaksinya bakal “kampret ngasih beban berat amat..”)
—
Dari basecamp, saya dan Rahman lanjut jalan lagi ke Khumbu Icefall. Ini hanya 10 menit lah dari EBC, ke kompleks bongkahan es raksasa, lebih besar dari menhirnya Obelix, yang menjadi titik start pendakian dari basecamp Everest ke Camp I.
Norak banget kami.
Ini adalah, apa ya, hal yang belum pernah kami lihat dan saksikan dan rasakan seumur hidup: berada di tengah es, siang-siang, dan viewnya gokil banget! Makanya kami norak, mulai dari sekedar foto-foto sampe rebahan di es. Kami bahkan sempat punya ide untuk joged Tobelo di Khumbu Icefall, lalu mengurungkan niat kami karena esnya licin banget kayak batu dikasih oli samping.
Saya kembali menikmati euforia finish ini dalam diam.
Tiba-tiba dari belakang ada yang nyolek.
“Excuse me, can you help take a picture of me please?” tanya seorang mas-mas bule berusia sekitar 40an.
“Oh sure,” jawab saya.
Setelah beberapa kali jepret pake handphone dan kamera pocket dia, saya iseng bertanya asalnya dari mana.
“I’m from Spain, i’m here for the Everest Marathon event.”
“Wait, what? Marathon? Here?”
“Yes, it’s starting tomorrow, everyone from all around the world is coming here for the event.”
“What??” saya ternganga. Lari marathon di Everest tidak pernah terbayangkan dalam benak saya. “And the start point is here? EBC?”
“Yess, and finish in Namche Bazaar.”
“WHAAAT?? IN ONE DAY?”
“Yep. Anyway, thanks for taking the pictures man,” katanya, lalu lari-lari manja ke rombongan dia di batu berpylox.
Saya terdiam sekali lagi dalam euforia garis finish.
Garis finish untuk saya, garis start untuk orang lain.
Damn.

Khumbu Icefall