Tribhuvan huft..

Saya punya love and hate relationship dengan bandara Kathmandu. Kalo baru tiba, rasanya menyenangkan sekali, kayak lagi mudik. Kayak pulang kampung.

Tapi pas pulang, hmph, selalu menyebalkan. Tahun 2018 kemarin kena delay 11 jam dan akhirnya harus merelakan 6 tiket pesawat Kuala Lumpur ke Jakarta hangus begitu saja. Kali ini, 2019,  hanya saya yang kena. Bangsat.

Awalnya semua lancar-lancar saja. Saat bagasi kami ditimbang pun, tidak ada masalah. Kami malah dibantu sama petugasnya, lebih sekilo dua kilo gak apa-apa, kalo lebihnya banyak boleh dipindahkan ke tas yang masuk bagasi kabin saja. Total bagasi kami yang 100 kg lebih itu lolos tanpa ada masalah sama sekali.

Drama baru terjadi saat kami melewati x-ray untuk masuk ke ruang tunggu. Saya sendiri sih, Diana, Agnes, dan Binbin, masuk dengan lancar.

Jadi gini.

Di bandara ini, cowok dan cewek punya x-ray sendiri-sendiri. Terpisah. Binbin, Diana, dan Agnes masuk lewat gate khusus perempuan, saya terpisah di gate laki-laki.

Saya mengambil baki besar, lalu meletakkan handphone, dompet, dan ikat pinggang saya. Ransel saya masukkan lebih dulu, lalu baki itu menyusul di belakangnya. Kemudian, saya masuk melewati x-ray, setelah itu digerayangi petugas keamanan bersenjata scanner.

Masih lancar.

Kemudian saya berdiri menunggu ransel saya selesai dipindai. Conveyornya berhenti. Ransel saya sedang diamati petugasnya. Conveyour jalan lagi, dan datanglah ransel dan baki saya.

“You bring a stick inside your bag? Steel stick?” “No,” jawab saya yakin. Trek pole saya masuk koper bersama tripod, bukan di dalam ransel.

“Take out all your stuff inside your bag, put it here, and rescan your bag, sir,” kata petugas itu sambil memberikan dua baki kosong kepada saya. “Ok.”

Saya mengeluarkan seluruh isi tas saya dan memindahkannya ke dalam dua baki tadi. Lalu saya kembali memasukkan tas saya ke scanner, dan saya sendiri melewati x-ray lagi, digerayangi lagi.

“Now your stuff sir, scan it.”

Saya membawa dua biji baki itu, memasukkannya lagi ke scanner, melewati x-ray, gerayang-gerayang lagi.

“Done?” tanya saya.

Si petugas scanner memicingkan matanya ke arah layar, “One more time,” katanya. “Just the bag.”

Bangsat.

Saya meninggalkan dua baki berisi barang saya, lalu kembali lagi memasukkan tas saya ke dalam scanner, lalu melewati x-rey, dan mulai merasa bahwa ini adalah modus penggerayangan secara terstruktur dan sistematis.

“Ok sir, done. You can go.”

Saya sudah mulai kesal sih, dan akan protes andai disuruh lewat x-ray lagi. Gila aja kalo tiba-tiba saya overdosis radiasinya kan, bisa-bisa terjadi mutasi seketika. Mending kalo berubah jadi Wolverine atau Magneto. Kalo berubah jadi manusia kampret gimana coba? Super powernya adalah kebal terhadap hal logis.

Satu per satu barang saya susun lagi di dalam tas. Percuma packing rapi-rapi waktu masih di hotel tadi, batin saya. Tidak jauh dari situ, Binbin, Diana, dan Agnes sedang tertawa cekikikan melihat drama itu.

Saat sedang memasukkan barang, saya merasa ada sesuatu yang janggal. Saya hafal setiap barang yang ada di dalam tas saya. Bukan hanya itu, saya juga ingat posisi setiap barang di dalam tas saya. Saya sadar, kacamata saya tidak ada. Saya memanggil petugas yang tadi berurusan dengan saya.

“Hey where is my glasses? It was here a while ago, inside the tray, and now it’s gone. Where is it?”

Dia kaget, lalu, mulai sibuk mencari-cari (atau pura-pura sibuk mencari). Saya mencari di sekitar tempat itu, dan tidak menemukan apa-apa.

“How come my glasses is not here anymore? I leave all my stuff to you. It was here, inside this tray. Where is my glasses??”

“Wait sir,” jawabnya grogi, lalu pergi ke petugas scanner dan melihat ke layar. Saya masih mencari-cari. Dia balik lagi ke saya. “I didn’t see your glasses sir. Are you sure you have it with you?”

“I’M SURE! I LEFT IT HERE, INSIDE THIS TRAY BECAUSE YOU ASKED ME TO RESCAN MY BAG! YOU WERE HERE, AND YOU DONT KNOW ANYTHING??” Ingin saya jambak rambutnya tapi dia cepak.

Yeah. Ini emosi yang terakumulasi sejak tahun lalu di bandara ini.

“I’m sorry sir, i don’t know.”

Saya menatapnya geram. Saya merasa dikerjai.

Saya menyelesaikan packingan saya, memanggul tas saya lagi, sembari berusaha merelakan kacamata saya yang saya simpulkan saat itu juga, bahwa kacamata saya dicuri.

“Bangsat kalian,” kata saya kepada petugas itu, lalu pergi sebelum emosi saya makin tidak terkendali.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: