Belajar Dari Jeram

serayu

Standing waves di serayu

Saya cinta dengan arung jeram. Saya cinta dengan sungai. Kadang saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar duduk di pinggir sungai, merenungi kehidupan yang mengalir seperti air. Gak deng. Merenungi kehidupan itu paling enak di WC saat lagi boker.

Tapi saya cinta dengan sungai. Saking cintanya, saya paling anti dengan tindakan pemerintah yang suka mentalud sungai, mengutak-atik alirannya, meluruskannya, mencemarinya dengan berbagai limbah. Mereka pikir sungai itu drainase alami, padahal bukan! Sungai adalah bagian dari ekosistem yang menghidupi banyak makhluk di sepanjang alirannya. Apa pulak ini serius amat.

Mungkin karena cinta dengan sungai maka saya mencintai arung jeram. Dibanding kegiatan petualangan lain, arung jeram adalah yang paling ramah lingkungan. Panjat tebing suka mengebor tebing dan meninggalkan hanger-hanger di jalur pemanjatannya. Caving juga sama, suka ngebor dinding gua dan merusak ornamen di dalam gua itu sendiri. Naik gunung? Gak perlu lah dijelaskan apa dampaknya buat lingkungan. Diving juga sama aja sih, kalo gak sengaja megang karang ya nabrak karang. Tapi arung jeram, gak ada efeknya buat sungai. Kita cuma naik perahu terus hore-hore dari start sampe finish. Gak ada yang dirusak, gak ada yang dicemari. Namaste.

Saya memulai kecintaan saya terhadap olahraga ini sejak 15 tahun yang lalu. Pertama kali saya mengarungi sungai dengan perahu karet adalah saat lomba arung jeram antar kelompok pecinta alam se-Sulut tahun 1998 di sungai Nimanga, Desa Timbukar, Minahasa. Waktu itu karena masih bego, belum tau apa-apa tentang bahaya arung jeram, tim saya hanya menikmati perjalanannya dengan amat santai. Saat nomor down river race alias balapan, tim yang lain mencatat waktu tempuh 15-20 menit untuk mencapai garis finish. Tim kami? Sejam lebih. Ya, saat itu kami benar-benar menjalankan filosofi kehidupan yang paling bijaksana, “Mengalir bersama air.” Yaah kadang ngedayung, kadang tidur-tiduran di perahu, kadang latian salto. Saya belum tahu sama sekali tentang “undercut” yang tidak terlihat dari permukaan tapi menanti di setiap belokan sungai, menunggu seseorang untuk terjebak disana selamanya. Saya belum tahu tentang “hole” pada jeram-jeram besar yang bisa menggulung siapa saja bahkan perahu yang terjatuh di dalamnya sesuka dia dan selama dia mau. Saya belum tahu apa itu standing wave, eddie, haystack, rooster, pillow, stopper, dan bagaimana manuver perahu untuk menghadapi mereka-mereka itu. Bagi saya, arung jeram adalah tentang bersenang-senang dan tidak ada bahaya-bahayanya. Hahaha..

Tim Hore

Tim Hore Hura-Hura

Tapi pengalaman itu membuat saya memutuskan untuk memperdalam ilmu arung jeram ke level yang lebih serius. Saya pun masuk Mapala tahun 2001. Tidak hanya itu, saya memilih divisi arung jeram untuk saya tekuni ketika mengikuti pendidikan lanjut selama hampir setahun. Berenang di jeram adalah hal biasa, itu makanan sehari-hari kami saat pendidikan. Lecet, luka dan lebam gara-gara terbentur batu? Cih, hal kecil. Yang penting gak mati. Yap, sesombong itu.

Setelah menyelesaikan pendidikan dan menjadi anggota penuh, satu demi satu sungai-sungai di Jawa saya jelajahi. Kadang pake perahu karet, kadang pake kayak. Bahkan mapala saya saat itu membuat perahu sendiri untuk satu orang dengan bahan polyfoam. Perahu handmade itu saya bawa ke Serayu dan di jeram ketiga dari titik start saya terbalik lalu terseret arus sungai cukup jauh. Saya  muncul kembali ke permukaan dengan luka dan memar di beberapa bagian tubuh, membalikkan perahu tanpa menepi, lalu melanjutkan perjalanan tanpa sedikit pun trauma. Ya, sesombong dan senekat itu. Scouting atau mengamati bentuk jeram dari tepi sungai pun hanya 2 kali saya lakukan, saat akan masuk “jeram S” dan “jeram tangga”. Selain itu? Tanpa scouting, langsung hajar dengan mengandalkan insting. Kalo kebalik ya tinggal berenang ngikutin arus lalu kembali ke perahu. Selama dayung masih di tangan, pantang untuk mengangkat perahu keluar sungai.

Kayaking di Serayu

1 detik sebelum terbalik di Serayu

Kayaking serayu

Main di hole

serayu

Terjebak di tengah jeram

Skipper kampret

Gak ada helm? Topi udah cukup.

Pengalaman paling seru saat arung jeram? Kebalik di pintu masuk jeram Boedil sungai Progo Bawah. Jeram Boedil adalah jeram yang menyandang gelar sebagai jeram paling ekstrim se-Jawa. Grade jeram ini IV+ saat banjir, artinya dibutuhkan tim yang kompak dengan skipper berpengalaman untuk bisa melewatinya dengan mulus. Kombinasi standing wave, hole bertingkat, boulders, dan undercut yang bersembunyi di bawah permukaannya membuat jeram ini mampu menciutkan nyali siapa saja yang melihatnya. Nama jeram Boedil sendiri berasal dari nama Boedi Lestari, seorang pengarung jeram yang meninggal di situ beberapa tahun yang lalu karena tenggelam.

Skipper (kapten perahu) kami waktu itu pernah kehilangan temannya juga saat berarung jeram bersamanya. Gara-gara itu dia grogi, gugup, dan tidak percaya diri ketika harus memutuskan ambil jalur mana. Kami, awaknya, meminta untuk lewat jalur tengah yang paling ekstrim tapi bisa dilalui dengan dayungan yang kompak dan full power.

Dia tidak berani, dan lebih memilih jalur kanan yang arusnya kurang kuat tapi banyak tonjolan-tonjolan batunya. Hingga perahu tiba di pintu masuk jeram, kami masih belum sepakat. Saya yang duduk di posisi paling depan berusaha mengarahkan perahu ke tengah, sedangkan doski sekuat tenaga membelokkan perahu ke kanan. Yang namanya perahu, kapal, hingga kapal induk sekali pun kendalinya tetap di belakang. Akhirnya saya kalah, perahu belok ke kanan, menabrak batu di depan lalu terbalik satu detik sebelum masuk jeram.

Seluruh awak perahu tumpah ke jeram paling berbahaya itu. Saya merasakan tubuh saya ditarik ke dasar sungai, digulung arus, dan ditarik lagi ke bawah sebelum sempat mengambil nafas. Berkali-kali saya dipaksa menelan air sungai yang masuk ke mulut saya, dan untuk sesaat, saya mengalami bayangan kematian. Saya akan mati, saat itu juga. Wajah ayah, ibu, dan kakak-kakak saya melintas dengan cepat di pikiran saya. Saya sudah pasrah, namun, rupanya ajal belum menjemput kami saat itu.

Satu per satu kami terlepas dari jebakan jeram Boedil, dan muncul di permukaan puluhan meter setelahnya. Saya kehilangan sepatu Teva sebelah kanan saya. Awak yang lain ada yang kehilangan sendal, jam tangan, dan sang kapten kehilangan cincin kawin yang melingkar di jari manisnya! Ajaib.

Setelah insiden itu, perahu kami ibarat kapal tanpa nahkoda. Satu orang awak memilih untuk menyerah dan tidak melanjutkan perjalanan. Kami kehilangan kepercayaan pada skipper, dan menyelesaikan pengarungan dengan bersungut-sungut. Bukan, kami bukan kesal karena perahu kami terbalik. Kami, terutama saya, kesal karena gagal melewati jeram Boedil dengan mulus. Itu beda man! Rasanya kebanggan saya sebagai rafter berkurang banyak gara-gara skipper dodol yang galau itu. Saya gak mau tau soal masa lalu dia, masalah traumanya dia, itu kan urusan dia. Bodo amat, sebagai skipper, harusnya dia mampu mengesampingkan masalah pribadinya saat sedang bersama timnya. Saya gak mau tau. Ya, secongkak itu.

Selain mengarungi sungai untuk kepuasan pribadi, saya juga pernah mengikuti latihan river rescue di sungai Elo, Magelang, tahun 2003. Saya belajar teori dan praktek tentang teknik-teknik penyelamatan di sungai, evakuasi korban, dan berbagai metode rescue lainnya yang rumit. Setelah menyelesaikan pelatihan, semakin sombong lah saya. Saya bisa menjadi skipper, saya bisa mengarungi sungai menggunakan kayak, saya juga menguasai teknik rescue di sungai. Saya menjadi terlalu percaya diri dan jumawa, hingga akhirnya sebuah kejadian besar menyadarkan saya.

9 September 2004

Hari itu adalah hari kedua pengarungan kami di sungai Serayu. Tim kami terdiri dari 2 perahu, perahu pertama adalah tim Impala Unibraw Malang, dan perahu kedua adalah perahu kami sebagai tim rescue. Kami telah menyelesaikan seluruh jeram buas di Serayu, dan yang tersisa adalah jeram-jeram kecil yang bisa dilalui dengan sepele. Tanpa bantuan awak pun, seorang skipper berpengalaman bisa membawa perahu melewatinya dengan mulus. Kurang lebih 30 menit lagi pengarungan akan selesai dan kami akan tiba di garis finish, desa Singomerto. Lalu, terjadilah insiden memilukan itu.

Selanjutnya saya kutipkan kronologis kejadian saat itu untuk mencegah munculnya cerita dengan versi berbeda.

Pada pukul 13.00 setelah istirahat makan siang tim kembali melanjutkan pengarungan. Korban Sylficia Dwi Karyaningsih melakukan pengarungan dengan perahu pertama pada posisi sebagai Skipper (pengemudi perahu, posisi di bagian belakang perahu). Perahu kedua berada di belakang perahu pertama.

Pada pukul 14.30 WIB musibah terjadi. Saat itu perahu pertama memasuki sebuah jeram dengan tingkat kesulitan relatif aman untuk dilewati perahu, namun bentukan jeram pada sebelah kiri sungai terjadi penyempitan sehingga arus utama mengumpul pada bagian kiri sungai.

Saat perahu pertama memasuki jeram, bagian perahu sempat membentur sebuah batu sehingga mengakibatkan korban terpelanting keluar perahu jatuh ke sungai. Sempat terlihat korban masih tertahan pada sebuah batu. Karena kondisi arus yang kuat akhirnya korban terseret ke arus utama kiri batu. Awak perahu pertama seketika itu lepas dari jeram melalui sisi bagian kanan batu dan tidak dapat melihat korban dengan jelas karena terhalang batu besar, dan setelah itu diduga korban sudah berada di bawah air. Perahu pertama akhirnya menepi sekitar 20 m di depan korban dan perahu kedua berhenti sekitar 10 meter di depan korban, kemudian segera dilakukan rescue (pertolongan).

Pada saat itu korban belum terlihat karena berada di bawah permukaan air dengan arus yang cukup deras, hanya dayung korban masih terlihat sebagian dan kondisi itu terlihat juga oleh perahu ke 2 (dua) setelah melewati jeram dan melihat signal (teriakan “dayuuung” terdengar samar – samar dan ada yang berteriak menyebut nama ” dwi dwi dwi …”) yang diberikan oleh awak perahu 1 (pertama).

Salah satu awak perahu ke 2 (dua) yaitu Bothe merespon kode tersebut dengan langsung berenang memotong arus utama dan berusaha mendekati lokasi terlihatnya dayung secepat mungkin, dan sebagian awak perahu pertama mengamankan perahu serta menyiapkan throw bag (tali lempar). Diperkirakan kaki korban terjepit pada bagian bawah sebuah batu di dasar sungai dan korban masih dengan peralatan lengkap termasuk dayung yang juga tersangkut di posisi yang sama.

Rescue pertama dilakukan oleh Bothe dengan renang jeram untuk meraih korban, namun hanya terambil dayungnya saja. Kemudian rescue dilanjutkan oleh awak perahu lainnya untuk meraih korban. Pada saat itu bagian pelampung korban sempat terpegang dan ditarik ke atas, diharapkan korban ikut juga terdorong ke atas. Tetapi  hanya pelampungnya saja yang terlepas. Sementara itu rekan-rekan yang lain memastikan lagi apakah korban sudah terlepas dan hanyut terbawa arus bawah ataukah masih terjepit di batu dan tidak dapat terlihat karena tertutup permukaan air.

Selanjutnya diambil keputusan untuk menggunakan jalur pertolongan yang lain melalui sisi bagian bawah batu tepatnya pada eddie batu yang diperkirakan dapat lebih dekat menjangkau korban dengan rescuer Komok. Pada saat mendekati korban ternyata ada bambu yang juga terjepit berada pada posisi korban. Kemudian bambu diangkat lebih dahulu oleh rescuer guna memudahkan jalannya pertolongan.

Pada tahap ini rescuer sempat meraih bagian tubuh korban mulai kaki sampai tangan dengan perkiraan sementara korban masih tertahan dengan posisi mengarah ke hilir, tertelungkup di batu yang menjepitnya dan terdorong arus utama, tetapi sulit untuk menarik korban keluar dengan posisi seperti itu. Selanjutnya dengan menggunakan tangan kiri rescuer, terpeganglah flip line dari bahan webbing yang masih melingkar di pinggang korban. Seketika itu juga rescuer segera memasang carabiner (cincin pengait) pada flip line korban, kemudian korban ditarik dengan tali lempar dari dua sisi di pinggir sungai dengan komposisi 2 orang di kanan dan 1 orang di kiri (berbentuk huruf V). Cara ini pun mengalami kegagalan. Korban masih sulit terlepas dari jepitan batu karena derasnya arus.

Kemudian setelah kondisi memungkinkan, ditambahlah jumlah orang yang menarik korban dengan teknik yang sama, dengan komposisi kiri dan kanan masing-masing 3 orang. Cara ini berhasil melepaskan korban dari jepitan batu dan setelah korban terangkat dari permukaan sungai korban langsung dibawa ke tepi. Dari keseluruhan proses pertolongan ini diperkirakan memakan waktu lebih kurang 15-20 menit.

Selanjutnya korban diangkat ke darat dan dicarikan tempat yang rata (kondisi tanah agak miring, posisi kepala korban berada di sisi bagian rendah). Setelah dilihat, didengar, dan dirasakan, dapat dipastikan saat itu nafas korban sudah tidak ada lagi dan terlihat tanda – tanda lain di antaranya tubuh korban terlihat pucat, pangkal kuku membiru, mata terbuka, pupil mata membesar, perut mengembung, di bawah mata sebelah kiri bagian bawah terlihat memar lebam, dan pada bagian leher terdapat bekas terjerat (diperkirakan saat korban terjepit di jeram tali helm masih terkait dan friksi dengan leher korban karena terdorong arus). Tetapi ada dugaan dan harapan denyut nadi korban masih ada (walaupun kemungkinan tersebut kecil sekali, mengingat proses evakuasi memakan waktu cukup lama, yaitu sekitar 20 menit, dan yang membuat keragu-raguan adalah apakah yang diperkirakan denyut nadi tersebut adalah denyut nadi korban ataukah denyut nadi penolong yang memeriksa nadi korban karena saat itu si penolong juga dalam kondisi gemetar karena tubuh yang lelah, kedinginan dan tegang.

Resusitasi jantung paru (RJP) langsung diberikan kurang lebih selama 10 menit, sementara teman-teman yang lain memastikan jalur evakuasi dan persiapan menuju tempat pertolongan pertama dalam hal ini adalah puskesmas terdekat. Setelah beberapa kali putaran dilakukan RJP ternyata tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa korban masih hidup.

Akhirnya diputuskan untuk mengevakuasi korban menuju ke jalan raya. Proses ini memakan waktu kurang lebih 10 menit karena kondisi jalan yang berkelok-kelok dan menanjak. Setelah sampai di jalan raya, korban dibawa oleh kendaraan pick up yang dicegat di jalan raya oleh rekan-rekan lainnya.

Selama di atas kendaraan, resusitasi jantung paru masih tetap dilaksanakan sampai korban tiba di puskesmas Sigaluh. Di puskesmas pun masih diberikan pertolongan pertama, tetapi ketika dilakukan cek napas, cek nadi, dan cek pupil mata, korban sudah tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Setelah itu dilaksanakan proses penanganan jenazah oleh pihak Puskesmas, kemudian pukul 21.30 jenazah langsung dievakuasi ke Malang dengan menggunakan mobil jenazah.

Selama 3 bulan setelah kejadian itu, setiap malam saya tidak bisa tidur tenang. Saya selalu teringat wajah Dwi saat ditarik ke permukaan sungai dengan mata yang menatap kosong. Kejadian itu menghantui saya, menyelimuti saya dengan perasaan bersalah yang sangat besar. Saya adalah skipper berpengalaman, kayaker, memiliki pengetahuan lebih tentang river rescue, tidak pernah ragu menghadapi jeram-jeram buas, tapi apa yang saya lakukan saat insiden itu?

Panik. Panik luar biasa yang membuat pikiran saya mendadak kosong. Saya lupa dengan semua yang telah saya pelajari selama ini. Saya kehilangan kepercayaan diri saya, dan sesaat kemudian saya kehilangan teman saya. Apa artinya semua pengalaman, ilmu, kemampuan, jam terbang, skill, dan segala kebanggaan-kebanggaan semu itu ketika pada akhirnya saya tidak mampu menguasai diri dan menyelamatkan teman sendiri? Nol.

Mendadak, arung jeram menjadi begitu mengerikan bagi saya. Mendadak, arung jeram tidak lagi saya cintai. Akibat arung jeram, seseorang kehilangan nyawanya tanpa bisa dicegah. Saya trauma. Saya merasa bersalah. Semua kebanggaan saya runtuh sejak saat itu, dan saya tidak pernah menyentuh dayung lagi hingga 2 tahun kemudian.

Hari itu saya tandai sebagai hari di mana buku kehidupan saya diisi dengan satu halaman hitam. Meski saat ini saya telah berhasil mengatasi trauma saya, namun kenangan tentang kejadian itu masih membekas pada ingatan saya. Saya masih hafal setiap detik dan setiap menit urutannya.

Saat dalam perjalanan menuju Malang, di dalam mobil jenazah, di depan peti mati Dwi, saya menyesali banyak hal. Ratusan pertanyaan memberondong otak saya, ratusan kenapa, ratusan bagaimana, dan ratusan jika. Dan akhirnya saya sampai pada kesimpulan: Saya terlalu sombong.

Saya telah menyepelekan resiko arung jeram akibat kebanggaan dan rasa percaya diri yang terlalu besar, hingga mengabaikan bahaya-bahaya yang bisa terjadi setiap saat. 15 menit sebelum kejadian itu saya sempat mengambil foto perahu pertama dengan Dwi sebagai skipper. Duduk dia di buritan perahu dengan tersenyum lebar, senyum kemenangan karena telah berhasil melewati jeram-jeram besar di sungai Serayu. Siapa yang bisa menyangka itu adalah senyum terakhirnya, dan 15 menit kemudian dia dijemput oleh kematian yang begitu memilukan.

Saya teringat dengan skipper saya saat terbalik di jeram Boedil sungai Progo Bawah. Kini saya bisa memahaminya. Saya menyesal telah menyalahkan sikap ragu-ragunya saat itu. Saya tahu, dia hanya tidak ingin kehilangan teman lagi. Dia tidak ingin salah satu dari awak perahunya mengalami nasib serupa dengan temannya yang meninggal saat arung jeram. Saya terlalu sombong saat itu sehingga tidak bisa melihat apa yang menjadi kekhawatirannya. Rasa bangga yang berlebihan membuat saya buta.

Kini, saya hanya bisa tersenyum miris setiap kali melihat orang yang dengan mudahnya menyepelekan resiko dari kegiatan-kegiatan alam bebas, seakan-akan mereka telah menjadi jagoan yang tidak terkalahkan. Saya tersenyum miris, karena saya sadar, saya sedang bercermin dengan diri saya sendiri di masa lalu.

Big smile

Foto terakhir Dwi sebelum tragedi

Jeram "Dwi"

Jeram “Dwi”

Mantan tim serayu berfoto dengan memorial Dwi, di tepi sungai tempat almarhum menghembuskan napas terakhirnya

Ada satu hal yang menjadi kebiasaan saya saat ini. Saya sering berpesan “Hati-hati..” kepada siapa saja keluarga atau teman saya yang hendak bepergian, entah sekedar pulang ke rumah, mau naik gunung, atau melakukan perjalanan. Percayalah, itu bukan ucapan basa-basi. Berhati-hati adalah dasar dari manajemen resiko. Resiko akan selalu ada, dan untuk mengatasinya, bisa dimulai dengan berhati-hati.

Salam dayung!

  1. aku sedih bacanya mas..
    enywei kamu dulu kurus bet..

    Like

    Reply

    1. kita semua pernah kurus pada waktunya kan x))
      thanks udah baca chan

      Like

      Reply

      1. toss..semua pernah kurus pada waktunya. :p

        Like

  2. hati hati ya reg…hanya itu pesan dariku…ini juga bukan basa basi…seperti katamu setiap langkah itu beresiko walopun cuma untuk merenungi kehidupan di WC.
    betewe…walo aku bukan seorang yang ahli dalam mengkritik sebuah tulisan…tapi penghargaan sebagai seorang teman “aku suka tulisan kamu” bravo!!!!
    (ga lebay kan comentku… :D)

    Like

    Reply

    1. Ahahaha.. Kamu juga hati-hati ya ndul :D
      Thanks udah baca, ayo siapin tulisan buat 25 tahun MPS!

      Like

      Reply

  3. Cakep! Tulisannya keren. Mengharu biru.
    Kemudian perasaan haru tergantikan dengan ngakak, demi ngeliat foto salah satu mantan tim Serayu yg make kacamata dengan tutup kepalanya sembari berpikir, begitukah fashion di tahun itu? Seketika ngakak itu tergantikan dgn hening. Stlh sadar ternyata itu suami gue. Speechless.

    Like

    Reply

    1. Mwahahahaha..
      Begitu memang gaya suamimu jaman dulu kakak, norak! Awas jangan bilang2 dia (`з´ )__,/””(>_<!)

      Like

      Reply

  4. Perahu Unfloatable yang buat kayak itu bagus ya Reg…….

    Like

    Reply

    1. Woh ada the living legend mapala sttl yg paling ganteng!

      Itu masterpiece mas. Seandainya bisa diproduksi massal, pasti laris manis hahaha

      Like

      Reply

      1. Cleva…stelah baca aq jd merinding n ngerasa brada pada saat detik2 kejadian itu lagi…..
        masalah handmade tu…itu cm mslh proyek ambisius beberapa org..bayangkan dari beli bahan, ngukur bahan, bolak balik ketukang jahit, tes drive, bongkar lagi, ketukang jahit lagi, tes lagi..kita cuma di beliin es teh ma pimpronya..keterlaluan..!!! Rojimin keterlaluan banget anda itu…

        Like

      2. Padahal ngakunya wong sugih, punya barang2 yg kita gak mampu beli, tp bikin perahu cuma dikasih es teh wahahahahaha x)))

        Like

      3. Weeeekkk……padahal setelah kalian selalu ke rumah itu….simbokku kehabisan beras gara2 kalian kalo datang selalu ngepas jam makan siang……simbokku geleng2 ……jatah beras sebulan habis 10 hari……naaa…yang ini gak ku tagihkan ke MPS.

        Like

  5. Bro….ini postingan paling panjang yang pernah aku baca di blog ini.
    Anehnya mata nggak bosen baca ribuan kata yang diketik, dari seneng baca adventure di awal sampe sedih baca ttg alm.Dwi :(
    Anyway aku juga maniac rafting, betul memang rafting itu asyik tapi tetep kudu “hati-hati”. *lap air mata*

    Like

    Reply

    1. Thanks apresiasinya bro :D

      Eh ada yg lebih panjang lg tuh, tulisan pendakian sumbing sama catatan diksar. Tp strukturnya masih mirip kronologis, kurang menarik hahaha…

      Like

      Reply

      1. Eh iya dink pernah baca itu juga…lupa, hehe…
        Yang bikin penasaran…sekarang masih trauma ama rafting atau udah berani naik lagi?

        Like

      2. trauma sih ngga bro, cuma jadi banyak khawatirnya tiap mau masuk jeram besar. khawatir sama temen2 seperahu terutama. trus ga seberani dan senekat dulu lagi, hahaha…

        Like

  6. Mantap… tulisan anda dapat menghipnotis sementara waktu membuat pembaca anda, tidak mengedipkan mata dan pandangannya pada naskah yang ada tuliskan. Bravo… Buat ilmu jurnalistiknya, yang sampai saat ini masih di telateni, semoga semangkin banyak anggota2 MPS yang bersedia merekam kejadian2 masa lalu dalam bentuk tulisn. Apakabar dengan Sorwaru NewsLater??

    Like

    Reply

    1. Ah jg kangen dengan Sorwaru News, tempat kita belajar nulis cerita perjalanan jaman internet blm merajalela..

      Semoga adek2 kita ada juga yg suka nulis ya, sayang bgt pengalaman di mapala kalo ga terdokumentasi dlm bentuk catatan. Terlalu berharga.

      Like

      Reply

  7. Itu mobil apa mas?……..

    Kakekane tenan.

    Like

    Reply

  8. Pak Karles (bukan nama sebenarnya) March 10, 2013 at 12:55 am

    tuk mengenang dwi…yg paling gw inget sehari seblm dia meninggal. pas di gate atas yg kedua(lali meneh jenenge jeram) perahu gw kebalik…tumpah semua tuh awak gw ketarik hole trus masuk undercut yang ga ngejebak…keluar” jidatpun berdarah…hehehehe..yg lain dah pada menepi cuma gw yg terakhir nepinya…gw slalu inget itu…hana tiba’ bilang knp ndasmu meng…gw blg jidat gw ga papa eh ternyata bocor…bocor…bocor…(iklan nodrop) yg ngasih perban sama betadin itu si dwi… trus ntu poto knp yg itu yang di pasang cuy..buat istri, itu kain dipake dikepala buat nutupin jidat yg bocor…bocor….bocor….(ngeles)

    Like

    Reply

  9. Sbg org yg berada di 2 masa dlm kisah ini turut merasa di ingatkan ttg arti “KEBERANIAN”

    Like

    Reply

  10. Tumben nih saya sedih baca postinganmu bang. Tapi memang yang ini memilukan.

    Btw, meskipun bukan karena arung jeram, melainkan sedang menikmati air terjun, saya pernah mengalami kejadian nyaris mati. Dan itu benar-benar di luar perhitungan. Saya sama sekali tidak menyangka, jika air yang hanya setinggi lutut itu bisa menyeret saya, menenggelamkan dalam pusarannya dan hampir melemparkan saya dari air terjun setinggi belasan meter ke bawah nya. Untung waktu itu masih bisa tersangkut di dua batu besar yang saling menjepit.

    Like

    Reply

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.