Biman Bangsatdesh – 11 jam delay di Kathmandu

Semua berawal dari ide saya membuat open trip ke Annapurna Base Camp. Sebenarnya trip ini sudah direncanakan sejak tahun lalu oleh saya dan teman-teman SMA saya. 3 bulan menjelang tanggal keberangkatan, semuanya membatalkan diri. Saya sudah terlanjur beli tiket. Masak sendirian lagi ke sana? Akhirnya, dengan sedikit kenekatan karena saya belum pernah bikin open trip sebelumnya, saya mempublish materi promo untuk open trip ke Nepal, trekking ke Annapurna Base Camp, selama total 13 hari perjalanan. Murah. Mau? Maret 2019 ada lagi loh. #langsungjualan

Waktu itu, tiket PP Air Asia dari Jakarta ke Kathmandu berkisar di angka 4 jutaan. Setelah hitung-menghitung, dan karena saya tujuannya nyari teman bukan nyari duit, tripnya saya jual 12,5 juta all-in kecuali konsumsi selama di Kathmandu dan Pokhara. Selain itu, semua biaya sudah masuk dalam tanggungan saya.

Maka, mendaftarlah Harry, Diana, Andien, Yendi, Arta, dan yang paling terakhir, Lilian. Lumayan, dapat 6 orang untuk open trip pertama. Ke Nepal pulak. Setelah semuanya memastikan diri dan bayar DP, saya langsung membeli tiket PP Air Asia untuk mereka. Tinggal mikir transport, visa, permit, akomodasi, dan konsumsi mereka saja. At least, tiket pesawat sudah di tangan.

Lalu..

Satu bulan sebelum tanggal keberangkatan kami, di suatu pagi yang namaste, 7 biji email masuk ke mailbox yahoo saya. Pengirimnya? Air Asia. Dari judulnya terlihat penting. Saya membuka salah satu email itu dengan gelisah… Isinya adalah: Efektif per 13 Oktober 2018 Air Asia akan menutup penerbangan dari Kuala Lumpur ke Kathmandu dan sebaliknya. Bagi yang sudah memiliki tiket yang tanggalnya setelah tanggal 13 Oktober 2018, akan diberikan pilihan untuk melakukan reroute, reschedule, atau refund.

SHIT. Belum berangkat sudah ada drama.

Saya tau, tauuuu banget kalo kutukan saya ada di urusan transport. Setiap traveling, dramanya ya seputaran transportasi. Mau lewat darat, laut, udara, hampir selalu ada kejadian anehnya. Saya mulai was-was, jangan-jangan, ini tanda-tandanya, bunga asmara, kini bersemi kembali lagi #yousingyoulose

Karena pesawat ke Kathmandu dari Jakarta harus transit di Kuala Lumpur, otomatis penerbangan kami semua DIBATALKAN. Untungnya ada pilihan full refund, jadi saya segera memproses semua tiket kami untuk refund saja. Namun, permasalahan baru muncul. Maskapai lain tiketnya lebih mahal. Udah gitu, duit refund prosesnya masih lama. Saya kan kere. Jangankan tabungan, pacar saja ndak punya. We fell in love with people we can’t have. Iya ini gak nyambung. Maap.

Untungnya lagi saya menemukan investor yang bersedia menyelesaikan permasalahan ticketing saya tanpa bunga dan jaminan. Saya segera membeli tiket PP untuk kami semua dengan kombinasi penerbangan begini:

PERGI:
Jakarta – Kathmandu : Malindo Air
PULANG:
Kathmandu – Kuala Lumpur : Biman Bangladesh
Kuala Lumpur – Jakarta : Malindo Air lagi.

Kenapa dikombinasi dengan Biman?

  1. Malindo waktu itu harganya super mahal, dan Biman adalah alternatif yang lebih realistis walau pun harganya masih lebih mahal dibanding Air Asia.
  2. Jam penerbangannya bisa dibilang aman. Kami berangkat dari Kathmandu jam 1 siang, tiba di Bangladesh jam 3 sore, transit 4,5 jam di sana, lalu lanjut terbang ke Kuala Lumpur jam 7 malam. Kalo lancar dan (asumsi saya) tanpa drama sama sekali, jam 1 malam kami sudah tiba di Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur ke Jakarta baru akan lanjut jam 8 pagi.
  3. Mampir Bangladesh tampaknya seru.

Urusan tiket beres, proses refund sudah berjalan, saya kembali tenang. Lalu, berangkatlah kami ke Nepal, tanpa drama (kecuali Malindo yang sempat delay hampir 2 jam di Kuala Lumpur), dan tiba di Kathmandu dengan gembira ria.

Trip berjalan lancar, detailnya akan saya ceritakan di blog post lainnya, tapi kalo mau nonton vlognya silakan kilk channel youtube saya. Tenang, ga ada ajakan untuk subscribe. Saya juga benci itu.

Nah, selanjutnya adalah bagian utama cerita saya kali ini.

20 November 2018

Kami sudah di bandara Tribhuvan Kathmandu. Kalo pernah nonton film Everest yang settingnya tahun 90-an, ya bandaranya begitu itu sampe sekarang. Masih sama persis. Yang bikin film pasti seneng banget karena gak perlu mengubah apa-apa dengan bandaranya. Saya merasa seperti berada di jaman Dono Kasino Indro. Dan Inneke Koesherawati sebelum berhijab. Andai waktu itu dia sudah berhijab pasti lebih cantik. Maaf, sekedar mengingatkan. _/|\_

Waktu itu masih jam 12 siang, dan kami sudah duduk manis di ruang tunggu depan Gate A2, gatenya Biman Bangladesh yang penuh dengan manusia. Well, semua gate penuh dengan manusia sih. Maklum, ada lebih dari 30 airlines yang lalu-lalang di bandara ini, dengan total jumlah penumpang setiap tahun mencapai lebih dari 5 juta orang! Padahal, bandaranya kecil, hanya lebih besar sedikit dari bandaranya Jogja, tapi setiap hari harus melayani 15 ribu penumpang. Tapi ya 5 juta setahun sih, sedikit, dibanding aksi 212 yang dalam sehari bisa mendatangkan 11 juta orang. Ehe.

12.30 Local Time

Terdengar pengumuman melalui pengeras suara yang cempreng dan kurang jelas, seperti suara Cakra Khan yang bijinya dijepit lalu disuruh nyanyi. “Penerbangan Biman Airlines menuju Dhaka, Bangladesh, akan mengalami keterlambatan karena alasan teknis. Saat ini pukul 12.30 PM.”

Kami saling bertatapan.

…ngapain juga dia ngasih tau sekarang jam berapa, bukannya ngasih tau delaynya sampe jam berapa…

Tapi karena kami optimis kalo delaynya tidak akan menyaingi maskapai Macan NKRI, kami menanggapinya dengan santai. “Wah bisa sebat lagi nih,” kata Harry, yang tanpa kami sadari saat itu, akan menjadi berbat-bat.

Udah antri ternyata delay

13.00 Local Time

Terdengar pengumuman lagi. Pesawat masih mengalami kendala teknis, penumpang mohon bersabar, maskapai meminta maaf. Sekedar mengingatkan.

13.30 Local Time

Kami lapar. Yendi mentraktir kami dengan nasi goreng yang porsinya sekotak bisa buat bertiga. Standar porsi makan orang Nepal memang mengagumkan. Terima kasih bunda tabib.

14.00 Local Time

Pengumuman lagi tentang flight kami. Masih delay, masih belum tau delaynya sampe tahun berapa, dan masih dimohon bersabar.

15.00 Local Time

Kami mulai gelisah. Begini, waktu tempuh dari Kathmandu ke Dhaka adalah 1 jam 30 menit. Penerbangan lanjutan kami dari Dhaka ke Kuala Lumpur adalah jam 19.00. Andaikan kami berangkat dari Kathmandu terlalu sore, bisa-bisa kami ditinggal pesawat yang ke Kuala Lumpur dan kami harus bermalam di Bangladesh (yang tentunya sangat mungkin melihat gelagat maskapai ini yang sepertinya cuek bebek). Lalu, kami akan gagal mengejar flight Malindo kami dari Kuala Lumpur ke Jakarta.

Saya bertanya pada salah satu petugas di boarding gate. “I don’t know,” jawabnya. “Technical problem, just wait sir,” sambungnya lagi.

Sigh. Ini mulai mencemaskan.

16.00 Local Time

Pengumuman lagi. Tapi, bukan tentang status flight kami. Kali ini pengumumannya adalah undangan makan-makan untuk penumpang Biman sebagai kompensasi delay. Tempat makannya di restoran Radisson Hotel bandara. What? Cool! Saya langsung terbayang berbagai makanan yang disediakan untuk kami. Paling tidak ada steak, ayam goreng, salad buah, nasi goreng, sate kambing, gado-gado, somay, sop kaki kambing bang anen, roti eneng, viennetta…

Kami berenam melangkah menuju restoran dengan penuh semangat, mengamankan tempat duduk untuk kami, lalu ikut mengantri dan mendapati bahwa menunya hanya satu macam: DAL BHAT.

7 hari trekking hampir tiap hari makan Dal Bhat, di Kathmandu dan Pokhara makan Dal Bhat, makan malam terakhir kemarin malam juga Dal Bhat, dan sekarang kami bertemu kembali dengan Dal Bhat. Oke.

Berhubung kami lapar, kali ini Dal Bhat terlihat seperti nasi padang dengan ayam bakar, rendang, sayur nangka, sambal ijo, dan siraman kuah santan kental yang lebih membahagiakan dibanding siraman rohani. Tanpa kami sadari, porsi makan kami saat itu melebihi standar Nepal.

dalbhatpowertwentyfourhouryeawhateverwewantnasipadang

17.00 Local Time

Kami harus mengambil tindakan. Harry mengajak saya ke kantor Biman Bangladesh, nyari info sekaligus nyari ribut kalo connecting flight kami tidak dijamin. Setelah nanya-nanya dengan security bandara yang kurang kooperatif (sigh), kami akhirnya tahu ke mana kami harus pergi. Kantor semua airline termasuk Biman ada di gedung sebelah, terpisah dari gedung bandara. Artinya, kami harus keluar lagi melewati imigrasi dan area kedatangan, beserta sederet petugas keamanan yang pasti akan nanya macam-macam. Lesgo!

17.15 Local Time

Tantangan 1: Melewati check point ruang tunggu
Security : “Hei where you going?” tanyanya ke saya dan Harry yang penuh percaya diri lewat di pintu yang ada x-raynya. Kaget kali dia, ya biasanya itu buat masuk, lah ini mau keluar.
Harry : “We need to go to Biman Bangladesh office, our flight is delayed, we have to make sure about our next flight to Kuala Lumpur dst dst…”
Security-nya bingung. Datang security satu lagi. Kami menjelaskan kembali permasalahan kami. Security-nya bingung, tapi pake ngotot. Dia nanya lagi kenapa, kami jawab lagi, begitu seterusnya dan intinya kami belum dibolehkan keluar lagi hingga akhirnya datanglah security yang lebih senior, mungkin kepo melihat perdebatan itu. Kami menjelaskan (lagi) situasi kami, dan syukurnya si bapak mengerti, lalu kami disuruh permisi dulu di bagian imigrasi. Fiuh.

Tantangan 2: Permisi ke petugas imigrasi
Kantor bagian imigrasi terletak di dekat loket imigrasi. Kantornya kecil, cuma muat 3 meja kerja. Di dalam ada 2 orang, salah satunya duduk di meja yang ada tulisan SENIOR OFFICER. Ini dia sasaran kami.
“Excuse us sir, namaste.”
Dicuekin.
“Sir, we need to talk.”
Si bapak memandang kami. Mungkin dia mengira mau diputusin.
Seperti sebelumnya, kami menjelaskan lagi duduk perkara dan alasan kenapa kami butuh keluar. Ajaibnya, si bapak langsung ngebolehin.
“Okay, go,” katanya. Wah mudah sekali. Kami segera melenggang keluar, melewati loket imigrasi, lalu turun ke area kedatangan hingga akhirnya tiba di luar bandara lagi. Security di pintu kedatangan juga meloloskan kami tanpa nanya macam-macam.

Tantangan 3: Ke kantor Biman Bangladesh
Gedung kantor airlines ada di sebelah kiri gedung bandara. Setelah melewati security di pintu masuk, kami naik ke lantai 2 tempat kantor Biman seharusnya berada. Gedung itu jadul, mirip apartemen tua dengan warna merah bata. Kantor-kantor airlines letaknya berhadap-hadapan, di tengahnya ada lorong dengan lampu remang-remang. Kami menemukan kantor Biman tidak jauh dari tangga naik. Pintunya tertutup. Saya mengetok pintu. Tidak ada jawaban.
“PERMISIIII..”
Masih tidak ada jawaban. Kami membuka pintunya sedikit untuk mengintip. Ada seorang bapak yang sedang sholat di dalamnya. Tidak ada siapa-siapa selain dia.
“Tunggu selesai sholat dulu men,” kata Harry. Ya iyalah kalo lagi sholat trus diajak ngobrol nanti kita dituduh menista agama.
5 menit kemudian kami mengintip lagi. Bapaknya sudah selesai sholat.
“Lo aja yang ngomong, lo kan islam,” kata Harry lagi.
Hahahahahabangsad. Saya pun masuk lebih dulu.
“Assalamualaikum, sir,” sapa saya dengan tone se-islami mungkin. Si bapak menoleh dan berkata dengan ketus, “What do you want??”
Shit strategi pdkt kami menggunakan agama gagal. Bapak itu tampak lelah, sih, sepertinya dari tadi sibuk dengan urusan delay yang gak jelas juga. Usianya mungkin awal 50-an, dengan kacamata kotak, berkemeja putih, bercelana kain, bersepatu kulit. Wajahnya sekilas mirip Hotman Paris. Ini ngapain saya jelasin juga yha.
Saya menyampaikan maksud kedatangan kami, betapa kami cemas dengan connecting flight kami, dan bertanya ada masalah apa dengan pesawatnya.
Dan si bapak. Menjawab. Lagi. Dengan. Ketus. “YES WHAT DO YOU WANT?”
Huuufffttt….

“WE WANT TO KNOW WHAT TIME WILL WE FLY TO DHAKA AND WHAT WILL YOU DO IF WE CAN’T CATCH OUR NEXT FLIGHT?”
Dia menjawab, kali ini tidak ketus lagi, “Another plane is coming, will arrive at 18.30 and will fly to Dhaka 18.50.”
“And what about our flight to Kuala Lumpur and Indonesia?”
“Biman will take care of it in Bangladesh, you don’t worry. I don’t have answer about it.”
“So we still going to Kuala Lumpur this night?”
“Yes, yes, just wait for another plane coming to Kathmandu.”
Saya melirik Harry. “Gimana Har?”
“Ya kayaknya dia gak punya jawaban juga sih, gak bisa memutuskan apa-apa juga.” Harry bertanya lagi ke si bapak, “You sure that plane will arrive tonight?”
“Yes,” jawabnya mantap.
“Okay, thank you.”
Kami keluar dari kantornya, meninggalkan si bapak yang langsung sibuk di mejanya. Saat itu sudah hampir jam 18.00, kami masih harus menghadapi tantangan selanjutnya: Kembali ke ruang tunggu.

18.00 Local Time

Kami masuk lagi lewat pintu keberangkatan. Seorang security muda berwajah kalem berjaga di depan pintu. Kami menyerahkan paspor kami. Dia memeriksanya, lama.
“You from inside?”
“Yes, we go out to Biman’s office because of the delayed flight and we need to confirm something about our next flight.”
Dia membolak-balik halaman paspor kami, membacanya (atau tidak), menatap wajah kami, menatap paspor kami lagi, lalu..
“You can’t go in.”
“What? Why?”
Dia membolak-balik halaman paspor kami, membacanya (atau tidak), menatap wajah kami, menatap paspor kami lagi. Mungkin sampe barcode di paspor dibaca juga kali. Harry mulai tidak sabar.
“We’ve already got permission from the immigration officer and also from the security inside. Why can’t we go in now?”
DIA MEMBOLAK-BALIK LAGI HALAMAN PASPOR KAMI SODARA-SODARA.
Saya dan Harry menatap wajahnya dengan heran, lalu, dia membuat kami semakin terheran-heran.
“Wait,” katanya sambil mengembalikan paspor kami. Kemudian dia kembali ke posisi kalemnya, berdiri tegak sambil memandang kosong ke kejauhan. Saya dan Harry melihat ke arah pandangannya, siapa tahu dia menyuruh kami menunggu seseorang yang akan datang dan memberi ijin kami untuk masuk. Tapi, tidak. Tidak ada apa-apa di sana, hanya kekosongan belaka. Saya dan Harry kembali menatap wajahnya lagi.

“So can we go back in or not?”
“Wait,” jawabnya kalem, lalu kembali lagi ke pandangan kosongnya. Kami menanti 30 detik dan tidak terjadi apa-apa.
INI MAKSUDNYA APA BAMBAAAANG??
“Ayo men, kita cabut aja, masuk lagi dari jalan keluar tadi,” ajak Harry.
“Tapi gua masih pengen menatap dia dengan sadis nih.”
“Tar tau-tau boarding bangsat.”
“Oke.”
Kami pergi dari situ ke arah pintu kedatangan. Saya masih menatap matanya dari jauh. Matanya masih menatap kekosongan di kejauhan.

(lanjutannya klik di sini yaa)

 

  1. Kok tegang gitu jam-jam terakhir with Biman hahaha. Udah tegang, mau keluar, eh bersambung…. *brb telpon Hotman Paris*

    Like

    Reply

    1. tenang dulu, ini belum berakhir hahaha.. tunggu lanjutannya yang lebih banyak drama :D

      Like

      Reply

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.