Everest Base Camp Trekking – Hari 1: Lukla, Bandara Paling Berbahaya di Dunia

Njir panjang banget judulnya.

Setelah selama ini cuma baca di blog orang dan nonton di youtube, akhirnya saya mengalami bagaimana rasanya mendarat di bandara paling berbahaya di dunia. Rasanya adalah: biasa aja. Serius. Saya tidak merasa dalam bahaya sama sekali, bandaranya juga indah banget. Kami mendarat dengan mulus, dan pesawatnya langsung parkir gak pake lama.

Padahal:

  1. Bandara Lukla menempati peringkat pertama dalam kategori 5 bandara paling berbahaya di dunia.
  2. Runway-nya cuma 400 meter, ujung sini jurang, ujung sana tebing. Kalo mendarat resikonya nabrak tebing, kalo lepas landas resikonya jatuh ke jurang.
  3. Cuacanya gak jelas. Sekarang cerah, gak nyampe setengah jam kemudian bisa badai.

Tenzing-Hillary Airport, Lukla

Dengan semua bahaya itu, wajar jika penerbangan dari Kathmandu ke Lukla sangat beresiko. Demi mengurangi resiko itu, semua pilot yang terbang ke Lukla harus punya sertifikat khusus untuk mendarat di bandara Tenzing-Hillary, Lukla. Landasannya juga dibuat menanjak di bagian akhir. Selain untuk membantu pengereman, saat lepas landas pesawatnya juga terbantu waktu ngambil ancang-ancang awal. Namanya juga ancang-ancang ya di awal lah. Kalo di akhir namanya putus.

***

Trip kali ini saya jalan bareng Rahman, teman seangkatan Diksar saya di Mapala dulu. Kami tiba di Kathmandu tanggal 20 November, dan terbang ke Lukla besoknya, 21 November. Ada beberapa maskapai yang melayani penerbangan Kathmandu-Lukla, seperti Summit Air, Buddha Air, dll. Kami naik Yeti Air, beli tiketnya online sebulan sebelum berangkat.

Bandara untuk penerbangan domestik terpisah dengan bandara internasional. Terminalnya deketan sih, tapi terpisah. Lagian, untuk apa bersama jika tujuannya berbeda? #eh.

Kami tiba di bandara jam 4.30 subuh, karena pesawat kami jadwalnya jam 6. Ternyata kami kepagian. Bandaranya masih kosong. Jangankan penumpang lain, petugas bandaranya aja belum keliatan. Pintu masuk keberangkatan juga masih digembok, dan dinginnya minta ampun. Orang-orang baru pada datang setelah jam 5, dan pintunya baru dibuka setengah 6.

Bandara Domestik Nepal

Untungnya proses check-in kami berjalan lancar. Setelah menimbang ransel (jatah bagasi kami hanya 15 kg, sepertinya maskapai lainnya juga sama), kami masuk ke ruang tunggu dan boarding tidak lama kemudian. Pesawatnya kecil, kapasitasnya cuma 20 orang termasuk awaknya, dua pilot dan satu pramugari. Sebelum terbang, kami dibagikan permen dan kapas buat nyumbat kuping karena suara baling-baling mayan kenceng.

Penerbangan kami lancar karena cuaca yang cerah. Orang-orang sibuk dengan handphone dan kamera masing-masing, merekam dan memotret. Pemandangan dari atas memang cakep banget. Di sisi kiri pesawat jajaran pegunungan Himalaya terlihat jelas. Di sisi kanan, bertebaran desa-desa kecil di puncak barisan bukit. Liat deh.

Kami mendarat di Lukla setelah terbang selama 40 menit. Bandaranya sederhana banget, bahkan conveyor belt untuk bagasi tidak ada. Tas-tas kami dikeluarkan dari pesawat, masuk kereta dorong, lalu dibagi-bagi langsung ke penumpang yang menanti di dekat pintu keluar. Yup, bandara ini tidak punya terminal kedatangan. Setelah megang bagasi masing-masing, ya langsung jalan aja keluar area bandara dan mulai trekking. Temperatur saat itu 14 derajat celsius, gilak, dingin banget padahal matahari udah nongol. Gimana di neraka coba?

Yang menyenangkan dari trekking ke EBC adalah semua permit ngurusnya ya di jalur ini, jadinya kami tidak perlu spare satu hari ekstra di Kathmandu hanya untuk ngurus perijinan seperti di jalur Annapurna atau Mardi Himal. Permit pertama seharga 2000 rupee (Rp 250 ribu) di Lukla, dan permit kedua 3000 rupee (Rp 375 ribu) di Monjo. Gak perlu pas foto juga, cukup paspor saja.

Ticket Counter di Lukla

Check in counternya dijaga polisi. Waktu lewat sini kami sempat nggak ngeh hingga diteriaking WOI WOI sama polisinya LOL. Seperti jalur trekking Himalaya lainnya, dilarang menerbangkan drone karena mengganggu area terbang helikopter. Kalo bandel, drone-nya bisa disita

Setelah sarapan mie rebus telor dan menghabiskan segelas teh hangat di warung makan pinggir desa, kami memulai perjalanan kami menuju Monjo, tempat kami akan bermalam di hari pertama. Jalurnya masih agak nyantai di awal, cuma nurunin tangga yang lumayan panjang, abis itu cenderung flat. Pemandangannya menyegarkan! Viewnya terbuka dan ternyata jalur EBC ini ramai banget, lebih ramai dari jalur Annapurna. Trekker, porter, kuda, yak, hingga anak sekolah lalu lalang. Yang beda juga adalah harga makanan yang lebih mahal dari jalur Annapurna. Segelas teh di Lukla harganya Rp 10 ribu dan kelak akan menanjak hingga dua kali lipatnya di Gorak Shep nanti.

Desa-desa sepanjang perjalanan menuju Monjo ini cakep-cakep banget, apalagi Phakding. Lodge-lodgenya tertata rapi, dengan halaman rumput hijau yang dihiasi bunga warna-warni. Sayangnya banyak tai. Tai dimana-mana, tai kuda dan tai yak. Bau banget, tapi kalo gak nafas nanti mati.

Lodge di Phakding

Kami tiba di Monjo jam 5.30 sore. Tanjakan yang cukup berat adalah di sesi Bhenkar ke Monjo, dan rasanya lega sekali begitu melihat papan nama Monjo setelah terengah-engah menapaki tangga yang banyak banget sambil nahan dingin karena matahari yang sudah mulai tenggelam. Kami menginap di Mount Kailash Lodge semata-mata karena tempatnya tampak ramai.

Desa Monjo

  1. tempatnya cakep banget, semoga saya juga kesampaian lihat pemamdangan indah disana,hehe

    Like

    Reply

  2. Egy….kapan naek sepeda traveling by..LOL pertanyaan nya… Miss u bro 😁😁

    Like

    Reply

    1. Duh tako le bitis polote hahaha.. miss you toooo

      Like

      Reply

  3. keren gan, membaca cerita ini mengingatkan kembali kenangan trek EBC. saya berdua dengan teman start dari lukla 6 Desember 2019 sampe di EBC 15 Desember 2020 hampir ketemu kita gan hehehe

    Like

    Reply

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.